FILSAFAT
MATEMATIKA
A.
Dimensi Ontologi
Istilah ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh rudolf Goclenius di tahun 1936 M, demi memberikan nama
tentang hakekat yang bersifat metafisis. Kemudian dalam perkembangannya
Christian Wolf membagi metafisika ke dalam dua yakni metafisika umum dan
khusus.
Metafisika umum tidak lain adalah
istilah lain dari ontologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa metafisika atau
ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas tentang prinsip mengenai
dasar atau paling dalam segala sesuatu yang ada.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan
kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang
pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Sedangkan menurut Soetriono bahwa
Ontologi sinonim dengan metafisika yakni, studi filosofi dalam menentukan
tentang sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda dalam menentukan
arti, struktur dan juga prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan
oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
Pembahasan
tentang dimensi ontologis ilmu meliputi persoalan tentang: hakikat ilmu, objek
kajian ilmu, dan juga watak atau karakteristik ilmu itu sendiri. Di samping itu
juga membahas persoalan-persoalan penting tentang keilmuan yang berkaitan
dengannya. Namun sebelumnya perlu dijelaskan sekilas tentang beberapa tafsiran
Metafisika tentang kenyataan.
1.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Ontologi
merupakan cabang dari Metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam suatu
kenyataan. Terdapat beberapa tafsiran tentang kenyataan, di antaranya adalah
Supernaturalisme dan Naturalisme. Menurut Supernaturalisme, terdapat
wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih
tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata. Ajaran Animisme yang
menyatakan bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam
benda-benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dan seterusnya, merupakan
kepercayaan yang didasarkan pada Supernaturalisme.
Selain
itu terdapat pandangan yang bertolak belakang dengan Supernaturalisme.
Pandangan ini dikenal dengan Naturalisme dan Materialisme. Materialisme
merupakan aliran yang hanya mengakui “materi” sebagai inti dasar dari kenyataan.
Paham Materialisme berdasarkan pada Naturalisme yang menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, tetapi oleh
kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan
demikian dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai pionir ajaran
Materialisme adalah Democritos (460-370 SM).
2.
Objek Kajian Ilmu
Sebagaimana
diketahui, objek setiap ilmu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: objek
material dan objek formal. Objek material adalah fenomena-fenomena di dunia ini
yang ditelaah ilmu. Sedangkan objek formal adalah pusat perhatian ilmuwan dalam
penelaahan objek material tersebut. Atau dengan kata lain, objek formal
merupakan kajian terhadap objek material atas dasar tinjauan atau sudut pandang
tertentu.
3.
Ilmu sebagai Sistem
Ilmu
sebagai produk merupakan suatu sistem pengetahuan yang di dalamnya berisi
penjelasan-penjelasan tentang berbagai fenomena yang menjadi objek kajiannya.
Dengan demikian ilmu terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan.
Saling hubungan di antara berbagai komponen tersebut merupakan struktur dari
pengetahuan ilmiah.
Menurut
The Liang Gie (2010), sistem pengetahuan ilmiah (ilmu) mencakup lima kelompok
unsur, yaitu: jenis-jenis sasaran, bentuk-bentuk pernyataan, ragam-ragam
proposisi, ciri-ciri pokok, dan pembagian sistematis.
B. Dimensi
Epistemologi
Epistemologi
merupakan salah satu cabang Filsafat yang mengkaji tentang pengetahuan pada
umumnya, baik terkait dengan sumber pengetahuan, otoritas, validitas, kebenaran,
dan terutama cara-cara memperoleh pengetahuan.
Dimensi
epistemologis ilmu menjelaskan tentang prosedur atau tata cara ilmu
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Dimensi ini sekaligus menjadi
landasan penyelidikan ilmiah, yang harus dimiliki oleh setiap ilmu, sebagai
salah satu persyaratan utama.
Pembahasan
tentang dimensi epistemologis tersebut meliputi dua aspek penting yang saling
berkaitan, yaitu: Kebenaran ilmiah dan metode ilmiah, sebagaimana yang akan
diuraikan sebagai berikut.
Baca Juga: Tahapan Berpikir Filsafat
1.
Cara Mendapatkan Pengetahuan
Berbagai
tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua,
yaitu: secara non-ilmiah, yang mencakup: a) akal sehat; b) prasangka; c)
intuisi; d) penemuan kebetulan dan coba-coba; dan e) pendapat otoritas dan pikiran
kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang
dilakukan secara non-ilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), bukan
ilmu (science). Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah
menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
W.
Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul Measurement, Evaluation, and
Research: Ways of Knowing, menyatakan lima macam cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar yaitu: pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu.
Dengan
cara-cara tersebut akan diperoleh kebenaran sesuai bidangnya masing-masing.
Dengan pengalaman akan diperoleh kebenaran inderawi, dengan intuisi akan
diperoleh kebenaran intuitif, dengan agama akan diperoleh kebenaran religius,
dengan filsafat akan diperoleh kebenaran filosofis, dan dengan ilmu akan
diperoleh kebenaran ilmiah.
2.
Pengetahuan dan Kebenaran
Pengetahuan
mengandung keterangan tentang suatu objek (objek pengetahuan) secara tepat atau
bersifat akurat (benar), sebagaimana adanya, sehingga pengetahuan menghasilkan
suatu kebenaran. Kebenaran merupakan suatu nilai atau kualitas yang terkandung
dalam suatu pengetahuan, bahwa pengetahuan itu benar atau memiliki kebenaran
karena alasan tertentu.
Ilmu
dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau kebenaran ilmiah,
dan pengetahuan yang benar tersebut harus ditempuh melalui suatu tata cara atau
prosedur tertentu. Dalam ilmu, tata cara atau prosedur tersebut dikenal dengan
istilah “metode ilmiah”, sebagaimana yang akan jelaskan dalam pembahasan berikut
ini.
3.
Metode Ilmiah
Ilmu,
yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan science, bukanlah sekedar
kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta. Selain
fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dan seterusnya, yang
diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metode ilmiah. Jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Sedangkan pengetahuan dapat
diperoleh melalui beberapa cara, yaitu: pengalaman, intuisi, pendapat otoritas,
penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun
penalaran.
Ada
paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai produk. Setelah mengkaji
berbagai pendapat tentang ilmu, Jujun S. Suriasumantri (1996: 119) menyatakan
bahwa ilmu dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai
proses, ilmu terwujud dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak
lain adalah metode ilmiah. Dan sebagai produk, ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Ketiga
dimensi ilmu tersebut merupakan kesatuan logis yang harus ada secara berurutan.
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas tertentu, yaitu penelitian ilmiah.
Aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan metode ilmiah untuk menghasilkan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah.
C. Dimensi
Aksiologis Ilmu
Aksiologi
didefinisikan sebagai: a branch of philosophy dealing with the nature of
values and types of values as in morals, aesthetics, ethics, religion, and
methaphysics (cabang filsafat yang berurusan dengan sifat nilai-nilai dan
jenis nilai seperti dalam bidang moral, estetika, etika, agama, dan
metafisika). John N Warfield mendefinisikannya sebagai: the study of the
nature of types of and criteria of values and of value judgments, especially in
ethics (studi tentang sifat jenis dan kriteria nilainilai dan pertimbangan
nilai, terutama dalam etika) (Nataly Z. Chesky and Mark R. Wolfmeyer, 2015:
19).
Sedangkan
Lotze (1880) mendefinisikan aksiologi sebagai the general theory of value;
the study of objects of interest (teori umum tentang nilai; studi tentang
objek yang menarik). Pendapat lain tentang aksiologi juga dikemukakan oleh
Pizarro (http://pespmc1.vub.ac.be/asc/axiology.html),
seperti berikut ini.
Axiology
involves the values, ethics, and belief systems of aphilosophy / paradigm.
Within the critical race theory, axiology is the paradigm's leading influence
on research studies. Ontology and epistemology are secondary to the axiology.
Critical race theory's, axiology is composed of two elements: equity and
democracy (Aksiologi melibatkan nilai-nilai, etika, dan sistem
kepercayaan dari filsafat atau paradigma. Dalam teori kritis tentang ras,
aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh penting pada studi penelitian.
Ontologi dan epistemologi adalah yang kedua untuk aksiologi tersebut. Dalam
teori kritis tentang ras, aksiologi terdiri dari dua elemen: ekuitas dan
demokrasi) (www.edb.utexas.Nedu/faculty/scheurich/ proj7/axiology.html).
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat diambil dua intisari pengertian. Pertama,
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan ragam dan kriteria
nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika
atau nilai-nilai moral, di samping juga nilai-nilai estetika. Kedua,
Aksiologi merupakan suatu paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian
ilmiah. Setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari muatan Aksiologi, karena
Aksiologi memberi landasan arah dan tujuan yang diharapkan atau ingin dicapai
oleh penelitian ilmiah.
Baca: Pendidikan
D.
Filsafat Matematika,
Logika, dan Yayasan Matematika
Di satu sisi, filsafat
matematika berkaitan dengan masalah yang terkait erat dengan masalah sentral
metafisika dan epistemologi. Pada blush pertama, matematika muncul untuk
belajar entitas abstrak. Hal ini membuat orang bertanya-tanya apa sifat dari entitas
matematika terdiri dan bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan tentang
entitas matematika. Jika masalah ini dianggap sebagai terselesaikan, maka salah satu
mungkin mencoba untuk melihat apakah benda-benda matematis entah bagaimana bisa
milik dunia beton setelah semua.
Di sisi lain, ternyata bahwa
sampai batas tertentu itu adalah mungkin untuk membawa metode matematis untuk
menanggung pada pertanyaan filosofis tentang matematika. Pengaturan di mana ini telah
dilakukan adalah bahwa logika matematika ketika secara luas dianggap sebagai
bukti terdiri dari teori, teori model, Teori himpunan, dan teori komputabilitas
sebagai subbidang. Sehingga abad kedua puluh telah menyaksikan penyelidikan
matematika dari konsekuensi dari apa yang di bawah teori filosofis tentang
sifat matematika.
Ketika matematikawan
profesional prihatin dengan dasar subjek mereka, mereka dikatakan terlibat
dalam penelitian dasar. Ketika filsuf profesional menyelidiki pertanyaan filosofis tentang
matematika, mereka dikatakan untuk berkontribusi pada filosofi matematika. Tentu saja perbedaan antara
filsafat matematika dan dasar-dasar matematika tidak jelas, dan interaksi yang
lebih ada antara filsuf dan ahli logika matematika bekerja pada pertanyaan yang
berkaitan dengan sifat matematika, semakin baik.
E.
Empat Sekolah
Prospek filosofis dan ilmiah
yang umum di abad kesembilan belas cenderung ke arah empiris. Platonistic aspek teori
rasionalistik matematika dengan cepat kehilangan dukungan. Terutama sekali sangat-memuji
fakultas intuisi rasional ide dianggap dengan kecurigaan. Oleh karena itu menjadi
tantangan untuk merumuskan teori filosofis matematika yang bebas dari
unsur-unsur platonistic.Pada dekade pertama abad kedua puluh, tiga account
non-platonistic matematika dikembangkan: logicism, formalisme, dan
intuisionisme. Ada muncul pada awal abad kedua puluh juga program keempat:
predicativism. Karena keadaan historis kontingen, potensi sesungguhnya tidak
dibawa keluar sampai tahun 1960-an. Namun, cukup layak mendapat
tempat di samping tiga sekolah tradisional.
F.
Platonisme
Pada tahun-tahun sebelum
perang dunia kedua itu menjadi jelas bahwa keberatan berat telah diajukan
terhadap masing-masing dari tiga program anti-Platonis dalam filsafat
matematika. Predicativism adalah pengecualian, tapi pada saat program tanpa
pembela. Dengan demikian ruang
diciptakan untuk suatu minat baru dalam prospek pandangan platonistic tentang
sifat matematika. Pada konsepsi platonistic, materi pelajaran matematika terdiri dari
entitas abstrak.
1.
Gödel's Platonisme
Gödel adalah seorang Platonis
berkenaan dengan objek matematika dan dalam kaitannya dengan konsep-konsep
matematika (Gödel 1944, 1964). Tapi melihat platonistic nya lebih canggih daripada matematikawan
di jalan.
Gödel menyatakan bahwa ada
paralelisme kuat antara teori-teori yang masuk akal objek matematika dan
konsep-konsep di satu sisi, dan teori masuk akal benda fisik dan properti di
sisi lain.Seperti benda-benda fisik dan sifat, objek matematika dan konsep yang
tidak dibangun oleh manusia. Seperti benda-benda fisik dan sifat, objek matematika dan konsep
yang tidak dapat direduksi kepada badan mental. Matematika objek dan konsep
adalah sebagai tujuan sebagai objek fisik dan sifat. Matematika objek dan konsep
adalah, seperti benda-benda fisik dan sifat, didalilkan dalam rangka untuk
mendapatkan suatu teori yang memuaskan dari pengalaman kami. Memang, dengan cara yang
analog dengan hubungan persepsi kita untuk benda-benda fisik dan sifat, melalui
intuisi matematika kita berdiri dalam suatu hubungan kuasi-persepsi dengan
objek dan konsep matematika.Persepsi kita tentang objek fisik dan konsep bisa
salah dan dapat diperbaiki. Dengan cara yang sama, intuisi matematika tidak bodoh-bukti -
sebagai sejarah Frege Dasar Hukum V menunjukkan - tetapi dapat dilatih dan
ditingkatkan. Tidak seperti benda-benda fisik dan sifat, benda-benda matematis
tidak ada dalam ruang dan waktu, dan konsep-konsep matematika tidak
instantiated dalam ruang atau waktu.
Intuisi matematika kami memberikan
bukti intrinsik untuk prinsip-prinsip matematika. Hampir
semua pengetahuan matematika kita bisa dideduksi dari aksioma Zermelo-Fraenkel
Teori himpunan dengan Aksioma of Choice (ZFC). Dalam
pandangan Gödel, kita memiliki bukti intrinsik yang meyakinkan untuk kebenaran
aksioma ini. Tapi ia juga khawatir bahwa intuisi matematis mungkin
tidak cukup kuat untuk memberikan bukti yang menarik bagi aksioma yang secara
signifikan melebihi kekuatan ZFC.
Selain dari bukti intrinsik,
adalah dalam pandangan Gödel juga mungkin untuk memperoleh bukti ekstrinsik
untuk prinsip-prinsip matematika. Jika prinsip-prinsip
matematika yang sukses, kemudian, bahkan jika kami tidak dapat memperoleh bukti
intuitif bagi mereka, mereka mungkin dianggap sebagai mungkin benar.Gödel
mengatakan bahwa "sukses di sini berarti berbuah di konsekuensi, terutama
di 'diverifikasi' konsekuensi, yaitu konsekuensi diverifikasi tanpa aksioma
baru, yang bukti-bukti dengan bantuan dari aksioma baru, bagaimanapun, adalah
jauh lebih sederhana dan lebih mudah untuk menemukan, dan yang membuat mungkin untuk kontrak menjadi
satu bukti banyak berbeda bukti [...] Tidak mungkin ada aksioma sangat banyak
di konsekuensi diverifikasi mereka, shedding cahaya begitu banyak di seluruh
bidang, seperti menghasilkan metode yang kuat untuk memecahkan masalah [...]
itu, tidak peduli atau tidak mereka secara intrinsik perlu, mereka harus diterima sedikitnya
dalam arti sama dengan teori fisika yang mapan "(Gödel 1947, 477). Gödel ini terinspirasi untuk
mencari aksioma baru yang dapat ekstrinsik termotivasi dan yang dapat
memutuskan pertanyaan-pertanyaan seperti hipotesis kontinum, yang sangat
independen dari ZFC (lih. Bagian 5.1).
Gödel Hilbert berbagi
keyakinan bahwa semua pertanyaan matematika memiliki jawaban yang pasti. Tapi Platonisme dalam filsafat
matematika tidak boleh dianggap ipso facto berkomitmen untuk memegang bahwa
semua dalil set-teoretis memiliki nilai kebenaran tentu. Ada versi Platonisme yang
menjaga, misalnya, bahwa semua teorema ZFC dibuat benar oleh fakta set-teoritis
menentukan, tetapi bahwa tidak ada fakta set-teori yang membuat pernyataan
tertentu yang sangat independen dari ZFC kebenaran-tentu. Tampaknya set teori terkenal
Paul Cohen diadakan beberapa pandangan seperti (Cohen 1971).
2.
Naturalisme dan Indispensability
Quine diartikulasikan kritik
metodologis filsafat tradisional. Dia menyarankan metodologi
filosofis yang berbeda daripada yang telah menjadi dikenal sebagai naturalisme
(Quine 1969). Menurut naturalisme, teori-teori kita yang terbaik adalah teori
ilmiah terbaik kami. Kita juga harus menahan diri dari memulai penyelidikan
epistemologis atau metafisik fundamental mulai dari prinsip-prinsip pertama. Sebaliknya, kita harus
berkonsultasi dan menganalisis teori-teori ilmiah yang terbaik. Mereka berisi, meskipun
seringkali secara implisit, rekening kami saat ini terbaik dari apa yang ada,
apa yang kita tahu, dan bagaimana kita tahu itu.
Putnam diterapkan sikap
naturalistik Quine untuk ontologi matematika (Putnam 1972). Sejak Galileo, teori-teori
kita terbaik dari ilmu-ilmu alam secara matematis dinyatakan. Teori gravitasi Newton,
misalnya, sangat bergantung pada teori klasik dari bilangan real. Jadi komitmen ontologis
terhadap entitas matematika tampaknya melekat pada teori-teori ilmiah terbaik
kami. Garis penalaran ini bisa
diperkuat oleh menarik tesis Quinean dari holisme confirmational. Bukti empiris tidak memberikan
kekuasaan konfirmatori pada setiap hipotesis satu orang. Sebaliknya, pengalaman global
menegaskan teori di mana hipotesis individu tertanam. Karena teori matematika adalah
bagian dan bingkisan dari teori-teori ilmiah, mereka juga sudah dikonfirmasi
oleh pengalaman. Jadi, kami telah konfirmasi empiris untuk teori matematika. Bahkan lebih muncul benar. Tampaknya bahwa matematika
sangat diperlukan untuk teori-teori ilmiah terbaik kami: itu sama sekali tidak
jelas bagaimana kita bisa mengekspresikan mereka tanpa menggunakan kosa kata
matematika. Oleh karena itu sikap naturalis memerintahkan kita untuk menerima
entitas matematika sebagai bagian dari ontologi filosofis kita. Baris ini argumentasi disebut
argumen indispensability (Colyvan 2001).
Jika kita mengambil matematika
yang terlibat dalam teori-teori ilmiah yang terbaik pada nilai nominalnya, maka
kita tampaknya berkomitmen untuk bentuk Platonisme. Tetapi merupakan bentuk yang
lebih sederhana Platonisme dari Platonisme Gödel's. Untuk tampak bahwa ilmu alam
dapat bertahan dengan (sekitar) fungsi ruang di bilangan real. Daerah yang lebih tinggi teori
himpunan transfinite tampaknya sangat tidak relevan bahkan teori-teori kita
paling maju dalam ilmu alam. Namun demikian, Quine pikir (di beberapa titik) bahwa set yang
didalilkan oleh ZFC dapat diterima dari sudut pandang naturalistik, mereka
dapat dianggap sebagai pembulatan murah hati-off dari matematika yang terlibat
dalam teori-teori ilmiah kita. Quine penilaian tentang masalah ini tidak diterima secara
universal. Feferman, misalnya, berpendapat bahwa semua teori matematika yang
pada dasarnya digunakan dalam teori-teori ilmiah saat ini yang terbaik adalah
predicatively direduksi (Feferman 2005).
Dalam filsafat Quine's,
ilmu-ilmu alam adalah penengah utama tentang keberadaan dan kebenaran
matematika matematika. Hal ini menyebabkan Charles Parsons ke objek bahwa gambar ini
membuat kejelasan matematika dasar agak misterius (Parsons 1980). Sebagai contoh, pertanyaan
apakah setiap nomor alamiah memiliki penerus akhirnya tergantung, dalam
pandangan Quine, pada teori empiris yang terbaik, namun entah bagaimana fakta
ini muncul lebih cepat dari itu. Dalam semangat yang sama,
catatan Maddy bahwa matematikawan tidak menganggap diri mereka berada dalam
cara apapun dibatasi dalam kegiatan mereka dengan ilmu-ilmu alam. Memang, orang mungkin
bertanya-tanya apakah matematika tidak harus dianggap sebagai ilmu dalam
dirinya sendiri, dan apakah komitmen ontologis matematika tidak harus dinilai
bukan berdasarkan metode rasional yang tersirat dalam praktek matematika.
Termotivasi oleh pertimbangan,
Maddy berangkat untuk menyelidiki standar eksistensi tersirat dalam praktek
matematika, dan ke dalam komitmen ontologis implisit matematika yang mengikuti
dari standar (Maddy 1990). Dia difokuskan pada teori himpunan, dan pada pertimbangan
metodologis yang dibawa untuk menanggung oleh komunitas matematika pada
pertanyaan yang aksioma-kardinal besar dapat diambil untuk menjadi kenyataan. Jadi pandangannya lebih dekat
dengan yang Gödel dibandingkan dengan yang Quine. Dalam karyanya yang lebih
baru, dia isolat dua pepatah yang tampaknya akan membimbing teori set ketika
merenungkan prinsip penerimaan set-teori baru: menyatukan dan memaksimalkan
(Maddy 1997). Pepatah itu "menyatukan" adalah dorongan bagi teori
himpunan untuk menyediakan sistem tunggal di mana semua objek matematika dan
semua struktur matematika dapat instantiated atau dimodelkan. pepatah The
"memaksimalkan" berarti bahwa teori himpunan harus mengadopsi
prinsip-prinsip teoritis set-yang sebagai kuat dan berbuah matematis mungkin.
3.
Mengempis Platonisme
Bernays mengamati bahwa ketika
seorang matematikawan sedang bekerja dia "naif" memperlakukan
benda-benda dia berurusan dengan cara platonistic. Setiap matematikawan bekerja,
katanya, adalah sebuah Platonis (Bernays 1935). Tetapi ketika matematikawan
adalah tertangkap tugas oleh seorang filsuf yang kuis tentang komitmen
ontologis, ia cenderung untuk kaki shuffle dan menarik diri ke posisi
non-platonistic samar-samar. Ini telah diambil oleh beberapa orang untuk menunjukkan bahwa ada
sesuatu yang salah dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang sifat objek
matematika dan pengetahuan matematika.
Carnap memperkenalkan
perbedaan antara pertanyaan yang internal untuk kerangka kerja dan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksternal dengan kerangka kerja (Carnap
1950). Tait telah bekerja secara
rinci bagaimana hal seperti perbedaan ini dapat diterapkan untuk matematika
(Tait 2005). Ini telah menghasilkan apa yang mungkin dianggap sebagai versi
deflasi dari Platonisme.
Menurut Tait, pertanyaan
keberadaan entitas matematika hanya dapat diminta bijaksana dan cukup menjawab
dari dalam (aksiomatik) kerangka matematis. Jika seseorang bekerja di
teori bilangan, misalnya, maka kita dapat bertanya apakah ada bilangan prima
yang memiliki properti tertentu. Pertanyaan semacam ini
kemudian akan diputuskan atas dasar murni matematika.
Filsuf memiliki kecenderungan
untuk langkah di luar kerangka matematika dan bertanya "dari luar"
apakah objek matematika benar-benar ada dan apakah proposisi matematika adalah
benar.Dalam pertanyaan ini mereka meminta supra-dasar matematika atau metafisik
untuk kebenaran matematika dan klaim eksistensi.Tait berpendapat bahwa sulit
untuk melihat bagaimana akal dapat dibuat pertanyaan eksternal seperti. Dia mencoba untuk menurunkan
mereka, dan membawa mereka kembali ke tempat mereka berada: untuk berlatih
matematika itu sendiri. Tentu saja tidak semua orang setuju dengan Tait pada titik ini. Linsky dan Zalta telah
mengembangkan cara sistematis menjawab tepat jenis pertanyaan eksternal yang
Tait pendekatan dengan jijik (Linsky & Zalta 1995).
Ia datang tidak mengejutkan
bahwa Tait memiliki sedikit digunakan untuk menarik Gödelian untuk intuisi
matematika dalam filsafat matematika, atau untuk tesis filosofis bahwa obyek
matematika ada "di luar ruang dan waktu". Secara umum, Tait berpendapat
bahwa matematika tidak memerlukan landasan filosofis, ia ingin membiarkan
matematika berbicara sendiri.Dalam hal ini, posisinya mengingatkan pada (dalam
arti Wittgensteinian) sikap ontologis alam yang dianjurkan oleh Arthur Fine
dalam perdebatan realisme dalam filsafat ilmu.
4.
Benacerraf's
epistemologis Masalah
Benacerraf dirumuskan masalah
epistemologis untuk berbagai posisi platonistic dalam filsafat ilmu (Benacerraf
1973). Argumen ini secara khusus
ditujukan terhadap rekening intuisi matematika seperti yang dari Gödel. argumen Benacerraf dimulai
dari premis bahwa teori terbaik kita pengetahuan adalah teori kausal
pengetahuan. Hal ini kemudian dicatat bahwa menurut Platonisme, benda-benda
abstrak tidak spasial atau temporal lokal, sedangkan daging-dan-darah
matematikawan secara spasial dan temporal lokal. Teori terbaik epistemologis
kami kemudian memberitahu kita bahwa pengetahuan entitas matematika harus
dihasilkan dari interaksi kausal dengan entitas tersebut. Tapi sulit membayangkan
bagaimana ini bisa terjadi.
Hari ini beberapa
epistemologists berpendapat bahwa teori kausal pengetahuan adalah teori
pengetahuan terbaik kami. Tapi ternyata bahwa masalah Benacerraf adalah sangat kuat di bawah
variasi teori epistemologis. Sebagai contoh, mari kita asumsikan demi argumen bahwa reliabilism
adalah teori pengetahuan terbaik kami. Kemudian masalah menjadi untuk
menjelaskan bagaimana kita berhasil mendapatkan kepercayaan yang dapat
diandalkan tentang entitas matematika.
Hodes telah merumuskan varian
semantical masalah epistemologis Benacerraf's (Hodes 1984). Menurut teori kami saat ini
terbaik dari referensi, koneksi kausal-historis antara manusia dan dunia
concreta memungkinkan kata-kata kita untuk merujuk kepada badan fisik dan
sifat. Menurut Platonisme, matematika
mengacu pada entitas abstrak. Platonis Karena itu berhutang kita account masuk akal tentang
bagaimana kita (secara fisik diwujudkan manusia) dapat merujuk kepada mereka.Di
wajah itu, tampak bahwa teori kausal acuan tidak akan mampu untuk memasok kita
dengan account yang dibutuhkan dari 'mikro acuan' wacana matematika.
5.
Plenitudinous Platonisme
Sebuah versi dari Platonisme
telah dikembangkan yang dimaksudkan untuk memberikan solusi untuk masalah
epistemologis Benacerraf's (Linsky & Zalta 1995; Balaguer 1998).Posisi ini dikenal
sebagai plenitudinous Platonisme. Tesis sentral dari teori ini
adalah bahwa setiap teori matematika secara logis konsisten harus mengacu pada
suatu entitas abstrak. Apakah matematika yang dirumuskan teori tahu bahwa itu merujuk
atau tidak tahu ini, sebagian besar material. Dengan menghibur sebuah teori
matematis yang konsisten, matematika secara otomatis memperoleh pengetahuan
tentang subyek teori. Jadi, pada pandangan ini, tidak ada masalah epistemologis untuk
memecahkan lagi.
Dalam versi Balaguer's,
Platonisme plenitudinous mendalilkan aneka ragam alam semesta matematika,
masing-masing sesuai dengan teori matematika konsisten. Jadi, pertanyaan seperti
masalah kontinum tidak menerima jawaban yang unik: di beberapa set alam semesta
teoritis hipotesis kontinum memegang, di lain itu gagal terus. Namun, tidak semua orang
setuju bahwa gambar ini dapat dipertahankan. Martin telah dikembangkan
argumen untuk menunjukkan bahwa alam semesta beberapa dapat selalu
"akumulasi" ke dalam alam semesta tunggal (Martin 2001).
Dalam versi Linsky dan Zalta
tentang Platonisme plenitudinous, entitas matematika yang dipostulasikan oleh
teori matematika yang konsisten telah persis sifat matematika yang dikaitkan
kepadanya oleh teori. Entitas abstrak yang berhubungan dengan ZFC, misalnya, adalah
parsial dalam arti bahwa hal itu tidak membuat hipotesis kontinum benar atau
salah. Alasannya adalah bahwa ZFC
tidak memerlukan hipotesis kontinum ataupun penyangkalan. Ini tidak berarti bahwa semua
cara konsisten memperluas ZFC berada di setara. Beberapa cara mungkin akan
berbuah dan kuat, yang lain kurang begitu. Tapi melihat tidak menyangkal
bahwa cara-cara yang konsisten tertentu memperluas ZFC yang lebih baik karena
mereka terdiri dari prinsip-prinsip sejati sedangkan yang lain mengandung
prinsip-prinsip palsu.
G.
Topik Khusus
Dalam
beberapa tahun terakhir, subdisiplin dari filosofi matematika mulai timbul. Mereka berevolusi dengan cara
yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh "perdebatan besar" tentang
sifat matematika. Dalam bagian penutup, kita melihat beberapa disiplin ilmu ini.
1.
Filsafat Teori
Banyak
hal Teori himpunan sebagai dasar matematika.Tampaknya bahwa hampir setiap
bagian dari matematika dapat dilakukan dalam teori himpunan, meskipun
kadang-kadang pengaturan canggung untuk melakukannya. Dalam beberapa tahun terakhir,
filsafat teori himpunan yang muncul sebagai disiplin filosofis sendiri. Ini bukan untuk mengatakan
bahwa dalam debat khusus dalam filsafat teori himpunan tidak dapat membuat
perbedaan besar apakah salah satu pendekatan dari titik formalistic melihat
atau dari sudut pandang platonistic, misalnya.
Satu
pertanyaan yang telah penting dari awal kekhawatiran teori himpunan perbedaan
antara set dan kelas yang tepat. Argumen diagonal Cantor memaksa
kita untuk mengakui bahwa alam semesta set-teoritis secara keseluruhan tidak
dapat dianggap sebagai satu set. Teorema Cantor menunjukkan
bahwa himpunan daya (yaitu himpunan semua subset) dari himpunan memiliki
kardinalitas yang lebih besar daripada yang diberikan mengatur dirinya sendiri. Sekarang anggaplah bahwa alam
semesta set-teoritis bentuk satu set: himpunan semua set. Lalu power set dari himpunan
semua set harus subset dari himpunan semua set. Hal ini akan bertentangan
dengan kenyataan bahwa power set dari himpunan semua set akan memiliki
kardinalitas lebih besar daripada himpunan semua set. Jadi kita harus menyimpulkan
bahwa alam semesta set-teoretis tidak bisa membentuk set.
Penyanyi
yang disebut kemajemukan yang terlalu besar untuk dianggap sebagai
multiplicities konsisten set (penyanyi 1932).Hari ini, multiplicities konsisten
penyanyi disebut kelas yang tepat.Beberapa filsuf matematika berpendapat bahwa
kelas-kelas yang tepat masih merupakan kesatuan, dan karenanya dapat dilihat
sebagai semacam koleksi. Mereka adalah, dalam semangat Cantorian, hanya koleksi yang
terlalu besar untuk set. Namun demikian, ada masalah dengan pandangan ini. Sama seperti tidak ada
himpunan semua set, tidak untuk alasan diagonalisasi juga tidak menjadi kelas
yang tepat dari semua kelas yang tepat.Jadi pandangan yang tepat kelas
tampaknya dipaksa untuk mengakui di samping sebuah dunia kelas super-tepat, dan
sebagainya. Untuk alasan ini, Zermelo mengklaim bahwa kelas-kelas yang tepat
sama sekali tidak ada. Posisi ini kurang aneh daripada yang terlihat pada pandangan
pertama. Pada pemeriksaan dekat, orang
melihat bahwa dalam ZFC orang tidak pernah perlu menghitung lebih dari entitas
yang terlalu besar untuk set (meskipun terdapat sistem teori himpunan yang
menghitung lebih dari kelas yang tepat). Pada pandangan ini, alam
semesta set-teoritis adalah potensial tidak terbatas secara mutlak dari kata
itu. Tidak pernah ada secara
keseluruhan selesai, tetapi selamanya tumbuh, dan karenanya selamanya belum
selesai.Cara berbicara mengungkapkan bahwa dalam upaya kita untuk memahami
gagasan tak terhingga potensial mutlak, kita ditarik untuk metafora temporal. Tidaklah mengherankan bahwa
metafora temporal menyebabkan beberapa filsuf matematika ketidaknyamanan akut.
Sebuah
subyek kedua dalam filsafat keprihatinan teori himpunan pembenaran
prinsip-prinsip dasar matematika yang diterima, yaitu aksioma ZFC. Sebuah studi kasus yang
penting sejarah adalah proses di mana Aksioma Pilihan datang untuk diterima
oleh komunitas matematika dalam dekade-dekade awal abad kedua puluh (Moore
1982). Pentingnya studi kasus ini
terutama disebabkan oleh fakta bahwa diskusi terbuka dan eksplisit penerimaan
yang diadakan dalam komunitas matematika. Dalam diskusi ini, alasan umum
untuk menerima atau menolak untuk menerima prinsip sebagai aksioma dasar datang
ke permukaan.Di sisi sistematis, dua konsepsi gagasan set telah diuraikan yang
bertujuan untuk membenarkan semua aksioma ZFC dalam satu kali kejadian. Di satu sisi, ada konsepsi
berulang set, yang menjelaskan bagaimana alam semesta set-teoritis dapat
dianggap sebagai yang dihasilkan dari set kosong dengan cara operasi mengatur
daya (Boolos 1971). Di sisi lain, ada batasan-konsepsi-ukuran set, yang menyatakan
bahwa setiap penagihan yang tidak terlalu besar untuk mengatur, adalah satu set
(Hallett 1984). Konsepsi iteratif memotivasi beberapa aksioma ZFC sangat baik
(aksioma ditetapkan listrik, misalnya), tetapi tarif kurang baik berkenaan
dengan aksioma lain (seperti aksioma pengganti). Keterbatasan-konsepsi-ukuran
memotivasi aksioma lain yang lebih baik (seperti aksioma pemahaman terbatas). Banyak
filsuf matematika percaya bahwa kita sekarang ini tidak memiliki konsepsi
seragam yang jelas-jelas membenarkan semua aksioma ZFC.
Motivasi
dari aksioma putatif yang melampaui ZFC merupakan keprihatinan sepertiga dari
filsafat teori himpunan (Maddy 1988; Martin 1998). Salah satu kelas seperti
prinsip didasari oleh aksioma-kardinal besar. Saat ini, hipotesis
besar-kardinal benar-benar diambil untuk berarti beberapa jenis embedding sifat
antara alam semesta dan model teoritis ditetapkan dalam teori himpunan. Sebagian besar waktu,
prinsip-kardinal besar memerlukan adanya set yang lebih besar daripada set yang
dapat dijamin oleh ZFC ada.
Gödel
berharap bahwa berdasarkan aksioma besar-kardinal seperti itu,
pertanyaan-pertanyaan terbuka yang penting dalam teori himpunan akhirnya bisa
diselesaikan. Masalah set-teoritis yang paling penting adalah masalah kontinum. Hipotesis kontinum diusulkan
oleh penyanyi pada akhir abad kesembilan belas. Hal ini menyatakan bahwa tidak
ada set S yang terlalu besar untuk ada menjadi korespondensi satu-ke-satu
antara S dan nomor alam, tapi terlalu kecil untuk di sana ada sebuah
korespondensi satu-ke-satu antara S dan bilangan real. Meskipun usaha keras, semua
upaya untuk menyelesaikan masalah kontinum gagal. Gödel datang untuk mencurigai
bahwa hipotesis kontinum tidak tergantung pada prinsip-prinsip teori himpunan
diterima. Sekitar 1940, ia berhasil menunjukkan bahwa hipotesis kontinum
konsisten dengan ZFC. Beberapa dekade kemudian, Paul Cohen membuktikan bahwa negasi dari
hipotesis kontinum juga konsisten dengan ZFC. Jadi dugaan Gödel tentang
kemerdekaan hipotesis kontinum akhirnya dikonfirmasi.
Tapi
berharap Gödel bahwa aksioma-kardinal besar dapat memecahkan masalah kontinum
ternyata tidak berdasar.Hipotesis kontinum adalah independen dari ZFC bahkan
dalam konteks aksioma besar-kardinal yang paling. Namun demikian,
prinsip-kardinal besar telah berhasil menyelesaikan versi terbatas dari hipotesis
kontinum (dengan persetujuan). Keberadaan kardinal Woodin disebut memastikan bahwa set
didefinisikan dalam analisis baik dapat dihitung atau ukuran kontinum. Dengan demikian masalah
kontinum diuraikan diselesaikan.
Dalam
beberapa tahun terakhir, upaya telah difokuskan untuk menemukan prinsip-prinsip
dari jenis yang berbeda yang mungkin dibenarkan dan yang belum dapat menentukan
hipotesis kontinum (Woodin 2001a, 2001b).
Banyak
para peneliti yang berusaha untuk memutuskan hipotesis kontinum berdasarkan
aksioma baru berpikir bahwa sudah ada bukti yang signifikan untuk tesis bahwa
hipotesis kontinum adalah palsu. Tetapi ada juga teori banyak
diatur dan filsuf matematika yang percaya bahwa hipotesis kontinum tidak hanya
diputuskan dalam ZFC tapi benar-benar diputuskan, yaitu, bahwa itu adalah tidak
dapat dibuktikan (dalam arti kata informal) atau disprovable (dalam arti
informal kata tersebut). Hal ini terkait dengan
pertanyaan yang lebih umum apakah ada batas-batas yang wajar dapat ditempatkan
pada perluasan konsep provability informal.Saat ini, wilayah penelitian terbuka
lebar.
2.
Categoricity
Dalam
paruh kedua abad kesembilan belas Dedekind membuktikan bahwa aksioma dasar
aritmatika miliki, sampai isomorfisma, tepat satu model, dan bahwa hal yang
sama berlaku untuk aksioma dasar Analisis Real. Jika teori memiliki, hingga
isomorfisma, tepat satu model, maka dikatakan kategoris. Jadi isomorphisms modulo,
aritmatika dan analisis masing-masing memiliki tepat satu model dimaksudkan. Setengah abad kemudian Zermelo
membuktikan bahwa prinsip-prinsip teori himpunan adalah "hampir"
kategoris atau kuasi-kategoris: untuk setiap dua model M1 dan M2
prinsip-prinsip teori himpunan, baik M1 isomorfis untuk M2, atau M1 isomorfik
ke kuat peringkat tidak dapat diakses
dari M2, atau M2 isomorfik ke peringkat yang sangat tidak dapat diakses M1. Baru-baru ini, McGee telah
menunjukkan bahwa jika kita mempertimbangkan Teori himpunan dengan Urelements,
maka teori itu sepenuhnya kategoris sehubungan dengan set murni jika kita
berasumsi bahwa hanya ada set-banyak Urelements (McGee 1997).
Pada
saat yang sama, teorema Löwenheim-Skolem mengatakan bahwa setiap orde pertama
teori formal yang memiliki setidaknya satu model dengan domain yang tak
terbatas, harus memiliki model dengan domain dari semua kardinalitas terbatas. Karena prinsip aritmatika,
analisis dan teori himpunan lebih baik memiliki setidaknya satu model yang tak
terhingga, teorema Löwenheim-Skolem tampaknya berlaku untuk mereka.
Solusi
dari teka-teki ini terletak pada kenyataan bahwa Dedekind bahkan tidak implisit
bekerja dengan formalizations order pertama dari prinsip-prinsip dasar
aritmatika dan analisis. Sebaliknya, ia secara informal bekerja dengan formalizations orde
kedua. Hal yang sama berlaku untuk
Zermelo dan McGee.
Mari
kita fokus pada aritmatika untuk melihat apa jumlah ini. Dalil-dalil dasar aritmatika
berisi aksioma induksi. Dalam formalizations order pertama dari aritmatika, hal ini
dirumuskan sebagai skema: untuk setiap orde pertama formula aritmatika dengan
satu variabel bebas, sebuah instance dari prinsip induksi dimasukkan dalam
formalisasi aritmatika. Dasar pertimbangan kardinalitas menunjukkan bahwa ada banyak sifat
tak terbatas bilangan asli yang tidak dinyatakan dengan formula orde pertama. Tapi secara intuitif,
tampaknya bahwa prinsip induksi berlaku untuk semua sifat-sifat alam nomor. Jadi dalam bahasa orde
pertama, kekuatan penuh dari prinsip induksi matematika tidak bisa diungkap. Untuk alasan ini, sejumlah
filsuf matematika bersikeras bahwa dalil-dalil aritmatika harus dirumuskan
dalam bahasa orde kedua (Shapiro 1991). Kedua-order bahasa mengandung
tidak hanya orde pertama bilangan yang berkisar lebih dari unsur-unsur dari
domain, tetapi juga orde kedua bilangan yang berkisar lebih dari sifat (atau
himpunan bagian) dari domain. Dalam logika orde kedua penuh, bersikeras bahwa bilangan orde
kedua rentang atas semua himpunan bagian dari domain. Jika prinsip-prinsip
aritmatika dirumuskan dalam bahasa kedua-order, maka argumen Dedekind's
berjalan melalui dan kami memiliki teori kategoris.Untuk alasan yang sama, kami
juga mendapatkan teori kategoris jika kita merumuskan prinsip-prinsip dasar
Analisis Real dalam bahasa orde kedua, dan perumusan kedua-order teori himpunan
ternyata menjadi kuasi-kategoris.
Ante
rem strukturalisme, serta penafsiran strukturalis nominalis modal matematika,
dapat mengambil manfaat dari formulasi orde kedua. Jika strukturalis rem ante
ingin menegaskan bahwa struktur alam jumlahnya tetap sampai dengan isomorfisma
oleh aksioma Peano, maka dia akan ingin merumuskan aksioma Peano dalam logika
orde kedua. Dan strukturalis nominalis modal akan ingin menegaskan bahwa
sistem beton yang relevan untuk aritmatika adalah mereka yang membuat orde
kedua Peano aksioma yang benar (Hellman 1989). Demikian pula untuk analisis
matematika dan teori himpunan. Dengan demikian menarik bagi logika orde kedua muncul sebagai
langkah terakhir dalam proyek strukturalis dari mengisolasi model dimaksudkan
matematika.
Namun
menarik bagi logika orde kedua dalam filsafat matematika tidak berarti tidak
kontroversial. Suatu keberatan yang pertama adalah bahwa komitmen ontologis
logika orde kedua lebih tinggi dari komitmen ontologis logika orde pertama. Setelah semua, penggunaan
logika orde kedua tampaknya berkomitmen kami untuk keberadaan benda abstrak:
kelas. Menanggapi masalah ini, Boolos
telah diartikulasikan interpretasi logika orde kedua yang menghindari ini
komitmen untuk entitas abstrak (Boolos 1985).Penafsirannya merinci klausul
kebenaran untuk bilangan orde kedua dalam hal ekspresi jamak, tanpa memanggil
kelas.Misalnya, ekspresi kedua-order bentuk ∃ XF (X) ditafsirkan sebagai: "ada beberapa hal-hal seperti F
yang memegang dari mereka". Penafsiran ini disebut
penafsiran jamak dari logika orde kedua. (Lihat entri pada kuantifikasi
plural.) Jelas bahwa banding sedemikian penafsiran logika kedua order akan
menggoda untuk versi nominalis strukturalisme.
Suatu
keberatan yang kedua terhadap logika orde kedua dapat ditelusuri kembali ke
Quine (Quine 1970). Ini menyatakan keberatan bahwa interpretasi logika orde kedua
penuh dihubungkan dengan set-pertanyaan teoritis. Hal ini sudah ditunjukkan oleh
fakta bahwa kebanyakan regimentations logika orde kedua mengadopsi versi
aksioma pilihan sebagai salah satu aksioma nya. Tetapi yang lebih
mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa orde kedua logika ini erat terkait
dengan masalah mendalam dalam teori himpunan, seperti hipotesis kontinum. Untuk teori-teori seperti
aritmatika, yang bermaksud untuk menggambarkan koleksi benda-benda yang tak
terbatas, bahkan materi sebagai dasar sebagai pertanyaan kardinalitas kisaran
quantifiers orde kedua setara dengan masalah kontinum.Juga, ternyata bahwa ada
suatu kalimat yang merupakan orde kedua kebenaran logis jika dan hanya jika
hipotesis kontinum memegang (Boolos 1975). Kita telah melihat bahwa
masalah kontinum tidak tergantung pada prinsip-prinsip yang berlaku saat ini
teori himpunan. Dan banyak peneliti percaya bahwa itu benar-benar kebenaran
berharga. Jika demikian, maka ada ketidakpastian melekat dalam gagasan
tentang model orde kedua tak terbatas. Dan banyak filsuf kontemporer
matematika mengambil yang terakhir tidak memiliki nilai kebenaran tentu. Oleh karena itu, berpendapat,
gagasan tentang model (tak terbatas) logika orde kedua penuh secara inheren tak
tentu.
Jika
salah satu tidak ingin menarik logika orde kedua penuh, maka ada cara lain
untuk memastikan categoricity teori matematika. Satu ide akan memanfaatkan
bilangan yang entah pertengahan antara orde pertama dan orde kedua
bilangan.Misalnya, satu mungkin memperlakukan "ada banyak finitely x"
sebagai quantifier primitif. Hal ini akan memungkinkan satu, misalnya, untuk membangun sebuah
axiomatization kategori aritmatika.
Tapi
categoricity memastikan teori matematika tidak memerlukan memperkenalkan
pembilang lebih kuat. Pilihan lain akan mengambil konsep informal komputabilitas
algoritmik sebagai gagasan primitif (Halbach & Horsten 2005). Sebuah teorema Tennenbaum
menyatakan bahwa semua model pertama-order Peano Aritmetika di mana penjumlahan
dan perkalian adalah fungsi komputasi, isomorfik satu sama lain. Sekarang operasi kami
penambahan dan perkalian adalah komputasi: jika kita tidak pernah bisa belajar
operasi ini. Ini, kemudian, adalah cara lain di mana kita mungkin dapat
mengisolasi model dimaksudkan prinsip kita aritmatika. Terhadap account ini,
bagaimanapun, mungkin menunjukkan bahwa tampaknya bahwa categoricity model
dimaksudkan untuk analisis riil, misalnya, tidak dapat dipastikan dengan cara
ini. Untuk perhitungan pada model
prinsip analisis riil, kita tidak memiliki teorema yang memainkan peran teorema
3.
Perhitungan dan Bukti
Sampai
akhir-akhir ini, subjek perhitungan tidak menerima banyak perhatian dalam
filsafat matematika. Hal ini mungkin disebabkan sebagian fakta bahwa dalam
axiomatizations Hilbert-gaya teori bilangan, perhitungan dikurangi menjadi
bukti dalam Peano aritmatika. Tapi situasi ini telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Tampaknya bahwa seiring dengan
meningkatnya pentingnya perhitungan matematis dalam praktek, refleksi filosofis
pada gagasan perhitungan akan menempati tempat yang lebih menonjol dalam
filsafat matematika di tahun-tahun mendatang.
Gereja
Tesis menempati tempat sentral dalam teori komputabilitas. Ia mengatakan bahwa setiap
fungsi algoritma komputasi pada bilangan asli dapat dihitung oleh mesin Turing.
Sebagai
sebuah prinsip, Gereja Tesis memiliki status agak aneh.Ini tampaknya menjadi
prinsip dasar. Di satu sisi, prinsip ini hampir secara universal dianggap benar. Di sisi lain, sulit untuk
melihat bagaimana hal itu bisa dibuktikan secara matematis.Alasannya adalah
bahwa yg yang berisi gagasan informal (komputabilitas algoritmik), sedangkan
konsekuensi yang berisi gagasan murni matematika (Turing komputabilitas
mesin).Matematika bukti hanya bisa terhubung gagasan murni matematika - atau
sepertinya begitu. Pandangan yang diterima adalah bahwa bukti kita untuk Tesis Gereja
adalah kuasi-empiris.Upaya untuk menemukan tandingan meyakinkan untuk Tesis
Gereja menyebabkan sia-sia. Mandiri, berbagai proposal telah dibuat untuk menangkap matematis
fungsi algoritma komputasi di alam nomor. Daripada mesin Turing
komputabilitas, pengertian tentang recursiveness umum, komputabilitas
Herbrand-Gödel, lambda-definability, ... telah diusulkan. Namun gagasan matematika semua
berubah menjadi setara. Jadi, untuk menggunakan Gödelian terminologi, kami telah
mengumpulkan bukti ekstrinsik untuk kebenaran Tesis Gereja.
Kreisel
lama menunjukkan bahwa bahkan jika tesis tidak dapat dibuktikan secara formal,
masih dimungkinkan untuk memperoleh bukti intrinsik untuk itu dari analisis
yang ketat tetapi informal gagasan intuitif (Kreisel 1967). Kreisel menyebut latihan di
kekakuan informal. beasiswa Detil oleh Sieg mengungkapkan bahwa artikel seminalis
Turing (Turing 1936) merupakan contoh indah hanya semacam ini analisis konsep
intuitif komputabilitas algoritmik (Sieg 1994).
Saat
ini, mata pelajaran yang paling aktif penyelidikan dalam domain yayasan dan
filosofi perhitungan tampaknya berikut.Pertama, energi telah diinvestasikan
dalam mengembangkan teori perhitungan algoritmik pada struktur lain dari alam
nomor. Secara khusus, upaya telah
dilakukan untuk mendapatkan analog Tesis Gereja untuk perhitungan algoritmik
pada berbagai struktur. Dalam konteks ini, kemajuan substansial telah dibuat dalam
beberapa dekade terakhir dalam mengembangkan teori komputasi berlaku pada
bilangan real (Pour-El 1999). Kedua, upaya telah dilakukan untuk menjelaskan pengertian tentang
komputabilitas selain komputabilitas algoritmik oleh manusia. Salah satu bidang minat
tertentu di sini adalah bidang perhitungan kuantum (Deutsch et al. 2000).
Beberapa
dekade terakhir telah menyaksikan bukti kejadian pertama matematika di mana
komputer tampaknya memainkan peran penting. Teorema empat warna adalah
salah satu contoh. Ia mengatakan bahwa untuk setiap peta, hanya empat warna yang
dibutuhkan untuk warna negara sedemikian rupa sehingga tidak ada dua negara
yang memiliki perbatasan bersama menerima warna yang sama. teorema ini terbukti tahun
1976 (Appel et al 1977.). Tapi buktinya membedakan banyak kasus yang diverifikasi oleh
komputer. Verifikasi ini komputer terlalu lama untuk dicek dua kali oleh
manusia. Bukti dari teorema empat warna
menimbulkan perdebatan tentang pertanyaan sejauh mana bukti-bukti yang dibantu
komputer dianggap sebagai bukti dalam arti sebenarnya dari kata tersebut.
Pandangan
yang diterima mengatakan bahwa bukti matematika menghasilkan pengetahuan
apriori. Namun ketika kita bergantung
pada komputer untuk menghasilkan (bagian dari) bukti, kita tampaknya
mengandalkan berfungsinya perangkat keras komputer dan pada kebenaran program
komputer. Ini tampaknya menjadi faktor empiris. Jadi seseorang tergoda untuk
menyimpulkan bahwa bukti komputer menghasilkan pengetahuan kuasi-empiris
(Tymoczko 1979). Dengan kata lain, melalui munculnya bukti komputer gagasan bukti
telah kehilangan murni yang karakter apriori. Lain berpendapat bahwa
faktor-faktor empiris yang kita bergantung saat kita menerima bukti komputer tidak
muncul sebagai premis dalam argumen. Oleh karena itu, bukti
komputer dapat menghasilkan pengetahuan apriori setelah semua (Burge 1998).
Sumber
ketidaknyamanan yang matematikawan pengalaman ketika dihadapkan dengan
bukti-bukti komputer tampaknya berikut. Sebuah "baik" bukti
matematika harus melakukan lebih dari untuk meyakinkan kita bahwa pernyataan
tertentu adalah benar. Ini juga harus menjelaskan mengapa laporan tersebut berlaku. Dan ini dilakukan dengan
mengacu pada hubungan yang mendalam antara konsep-konsep matematika dalam yang
sering ngelink domain matematika yang berbeda (Manders 1989).Sampai saat ini,
bukti komputer biasanya hanya menggunakan konsep matematika tingkat rendah. Mereka terkenal lemah untuk
mengembangkan konsep-konsep yang mendalam pada mereka sendiri, dan memiliki
kesulitan dengan menghubungkan konsep-konsep dari bidang matematika yang
berbeda. Semua ini membawa kita ke
sebuah pertanyaan filosofis yang baru saja mulai menerima perhatian yang layak:
apa pengertian matematika
Baca: Motivasi Islami
PUSTAKA
Appel, K., Haken, W.
& Koch, J., 1977. ‘Every Planar Map is Four Colorable’, Illinois Journal of Mathematics, 21: 429–567.
Balaguer, M. 1998. Platonism
and Anti-Platonism in Mathematics, Oxford: Oxford University Press.
Benacerraf, P., 1973.
‘Mathematical Truth’, in Benacerraf & Putnam 1983, 403–420.
Bernays, P., 1935. ‘On
Platonism in Mathematics’, in Benacerraf & Putnam 1983, 258– 271.
Boolos, G., 1971. ‘The
Iterative Conception of Set’, in Boolos 1998, 13–29.
Boolos, G., 1975. ‘On
Second-Order Logic’, in Boolos 1998, 37–53.
Boolos, G., 1985.
‘Nominalist Platonism’, in Boolos 1998, 73–87.
Boolos, G., 1998. Logic,
Logic, and Logic, Cambridge: Harvard University Press.
Burge, T., 1998.
‘Computer Proofs, A Priori Knowledge, and Other Minds’, Noûs, 32:
1– 37.
Burgess, J., 2004.
‘Mathematics and Bleak House’, Philosophia Mathematica, 12: 37– 53.
Cantor, G., 1932. Abhandlungen
mathematischen und philosophischen Inhalts, E. Zermelo (ed.), Berlin: Julius Springer.
Carnap, R., 1950.
‘Empiricism, Semantics and Ontology’, in Benacerraf & Putnam 1983, 241–257.
Cohen, P., 1971.
‘Comments on the Foundations of Set Theory’, in D. Scott (ed.) Axiomatic Set Theory (Proceedings
of Symposia in Pure Mathematics, Volume
XIII, Part 1), American Mathematical Society, 9–15.
Colyvan, M., 2001. The
Indispensability of Mathematics, Oxford: Oxford University Press.
Deutsch, D., Ekert, A.
& Luppacchini, R., 2000. ‘Machines, Logic and Quantum Physics’, Bulletin of Symbolic Logic,
6: 265–283.
Feferman, S., 2005.
‘Predicativity’, in S. Shapiro (ed.), The Oxford Handbook of Philosophy of Mathematics and Logic,
Oxford: Oxford University Press, pp. 590– 624.
Field, H., 1980. Science
without Numbers: a defense of nominalism, Oxford: Blackwell.
Gödel, K., 1944.
‘Russell's Mathematical Logic’, in Benacerraf & Putnam 1983, 447– 469.
Gödel, K., 1947. ‘What
is Cantor's Continuum Problem?’, in Benacerraf & Putnam 1983, 470–485.
Halbach, V. &
Horsten, L., 2005. ‘Computational Structuralism’, Philosophia Mathematica, 13: 174–186.
Hallett, M., 1984. Cantorian
Set Theory and Limitation of Size, Oxford: Clarendon Press.
Hellman, G., 1989. Mathematics
without Numbers, Oxford: Clarendon Press.
Hodes, H., 1984.
‘Logicism and the Ontological Commitments of Arithmetic’, Journal of Philosophy, 3: 123–149.
Kreisel, G., 1967.
‘Informal Rigour and Completeness Proofs’, in I. Lakatos (ed.), Problems in the
Philosophy of Mathematics, Amsterdam: North-Holland.
Linsky, B. & Zalta,
E., 1995. ‘Naturalized Platonism vs. Platonized Naturalism’, Journal of Philosophy, 92: 525–555.
Maddy, P., 1988.
‘Believing the Axioms I, II’, Journal of Symbolic Logic, 53:
481–511, 736–764.
Maddy, P., 1990. Realism
in Mathematics, Oxford: Clarendon Press.
Maddy, P., 1997. Naturalism
in Mathematics, Oxford: Clarendon Press.
Manders, K., 1989.
‘Domain Extensions and the Philosophy of Mathematics’, Journal of Philosophy, 86: 553–562.
Martin, D.A., 1998.
‘Mathematical Evidence’, in H. Dales & G. Oliveri (eds.), Truth in Mathematics, Oxford: Clarendon Press, pp.
215–231.
Martin, D.A., 2001.
‘Multiple Universes of Sets and Indeterminate Truth Values’ Topoi, 20: 5–16.
McGee, V., 1997. ‘How we
Learn Mathematical Language’, Philosophical Review, 106: 35–68.
Moore, G., 1982. Zermelo's
Axiom of Choice: Its Origins, Development, and Influence, New York: Springer Verlag.
Parsons, C., 1980.
‘Mathematical Intuition’, Proceedings of the Aristotelian Society,
80: 145–168.
Pour-El, M., 1999. ‘The
Structure of Computability in Analysis and Physical Theory’, in E. Griffor (ed.), Handbook of
Computability Theory, Amsterdam: Elsevier, pp. 449–471.
Putnam, H., 1972. Philosophy
of Logic, London: George Allen & Unwin.
Quine, W.V.O., 1969.
‘Epistemology Naturalized’, in W.V.O. Quine, Ontological Relativity and Other Essays, New
York: Columbia University Press, pp. 69–90.
Quine, W.V.O.,
1970. Philosophy of Logic, Cambridge, MA: Harvard University Press,
2nd edition.
Shapiro, S., 1991. Foundations
without Foundationalism: A Case for Second-order Logic, Oxford: Clarendon Press.
Sieg, W., 1994.
‘Mechanical Procedures and Mathematical Experience’, in A. George (ed.), Mathematics and Mind,
Oxford: Oxford University Press.
Tait, W., 2005. The
Provenance of Pure Reason: Essays in the Philosophy of Mathematics and its History, Oxford: Oxford University
Press.
Turing, A., 1936. ‘On
Computable Numbers, with an Application to the Entscheidungsproblem’,
reprinted in M. Davis (ed.), The Undecidable: Basic Papers on Undecidable Propositions and Uncomputable
Functions, Hewlett: Raven Press,
1965, pp. 116–151.
Tymoczko, T., 1979. ‘The
Four-Color Problem and its Philosophical Significance’, Journal
of Philosophy, 76: 57–83.
Van Heijenoort, J.,
1967. From Frege to Gödel: A Source Book in Mathematical Logic (1879–1931), Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Woodin, H., 2001a. ‘The
Continuum Hypothesis. Part I’, Notices of the American Mathematical Society, 48: 567–578.
Woodin, H., 2001b. ‘The
Continuum Hypothesis. Part II’, Notices of the American Mathematical Society, 48:
681–690.