This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Mengenmbangkan pendidikan melalui pengembangan pendidik

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

soal evaluasi akademik PPPk MOOC 2023


 Evaluasi akademik MOOC PPPK

Evaluasi akademik hanya dapat diakses ketika peserta telah melakukan upload file jurnal pada course. umumnya setiap mendapatkan jadwal evaluasi yang berbeda-beda, dengan maksimal 15 hari setelah dilakukan log in pada dashbor Swajar. cara log in dengan memasukkan NIK peserta dengan password tertentu.

1. Budaya berorientasi pelayanan dapat dijabarkan dengan kriteria sebagai berikut, kecuali …

a. ASN harus memahami sumber daya yang tersedia
b. ASN harus memiliki kode etik
c. Kode etik dapat dijabarkan kode perilaku
d. Prinsip melayani sebagai suatu kebanggaan

Jawaban. A

2. Dalam Peraturan Menteri PANRB Nomor 30 Tahun 2014, inovasi pelayanan publik dimaknai dengan
a. Terobosan jenis pelayanan yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal yang memberikan manfaat bagi masyarakat secara langsung
b. Terobosan jenis pelayanan yang merupakan adaptasi/modifikasi dari ide inovasi lainnya yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung
c. Terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang diikutkan dalam kompetensi inovasi pelayanan publik
d. Terobosan jenis pelayanan yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung

Jawaban. D

3. Satu hal yang mendasar yang membedakan inovasi di sector publik dengan inovasi di sector swasta
adalah …
a. Penggunaan anggaran yang tidak profit-oriented
b. Pemberi layanan yang sudah diberi pelatihan
c. Transferabilitas inovasi
d. Kemudahan dalam akses teknologi 

Jawaban C

4. Memberikan layanan melebihi harapan customer ditunjukkan dengan …
a. Meningkatkan mutu layanan dan tidak boleh berhenti ketika kebutuhan customer sudah dapat
terpenuhi
b. Selalu menanyakan dan melakukan survey kepuasan masyarakat
c. Mencari tahu ekspektasi customer di masa yang akan datang tentang layanan apa yang
diharapkan
d. Menunggu perintah atasan terkait terobosan baru 

Jawaban  A

5. Dalam suatu kasus yang tidak dapat diselesaikan dengan cara biasa, ASN dituntut untuk …
a. Berpasrah dengan keadaan dan mengharapkan bantuan dari pihak lain
b. Melakukan inovasi dan menggerakkan sumber daya yang ada untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut
c. Memberikan penyelesaian tanggung jawab tersebut kepada pimpinan atau rekan kerja lain
yang telah berkompeten
d. Meminta alokasi anggaran yang lebih banyak karena permasalahannya cukup sulit 

Jawaban B

6. Tujuan utama dari Nilai Dasar ASN adalah …
a. Menjadi dasar pembentukan peraturan internal tentang kewajiban masuk kerja
b. Menjadi pedoman perilaku bagi para ASN dan menciptakan budaya kerja yang mendukung
tercapainya kinerja terbaik
c. Menjadi pertimbangan pimpinan unit kerja dalam menentukan rekanan dalam proyek strategis
d. Menjadi instrumen pengukuran kinerja ASN oleh masyarakat 

Jawaban B

7. Untuk mewujudkan organisasi publik yang akuntabel harus mengandung mekanisme berikut?
a. Akuntabilitas kejujuran dan hukum
b. Akuntabilitas proses dan program
c. Akuntabilitas kebijakan
d. Semua jawaban benar

jawaban D


Berdakwah dalam Karya
Sebagai manusia sudah sepatutnya memiliki mimpi. Saya teringat ketika masih duduk di sekolah dasar dan sekolah tingkat menengah pertanyaan yang sering ditanykan oleh guru adalah apa cita-citamu?. Masih teringat begitu jelas jawaban dari kawan sekelasku waktu itu, cita-cita yang paling popular adalah ingin menjadi polisi, tentara, dan guru ketiga profesi ini yang paling banyak diminati. Namun dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup serta melihat biaya yang dibutuhkan untuk bisa mencapai cita-cita itu maka hanya bisa ternyum kecil mengingat ketika menyebutkan cita-cita degan begitu semangat. Kendala utam yang sering dihadapi adalah mengnai biaya, ya untuk mencapai cita-cita itu cukup merogok kantong dalam-dalam jika ingin mencapainya. Dengan begitu para pemilik cita-cita mundur alon-alon (perlahan-lahan) dan berusaha banting setir untuk beralih ke profesi menurutu mereka bisa ditempuh dengan real.
            Namun ada yang menarik, Menyusul tulisan ini saya buat terinspirasi dari FLP kota Yogyakarta, tema yang diusung adalah dari FLP: Berkarya, Berdakwahdan Menginspirasi. Salah satu cara berdakwah yang elegan. Mengapa waktu itu baik saya maupun salah satu dari kawanku tidak ada yang bericta-cita menjadi pendakwah dan menginspirasi.
            Tidak mudah menjadi sumber insprasi bagi orang lain, namun tak ada salahnya jika mencobanya. Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta sedang membuka recruitmen untuk bisa bergabung dan belajar bersama dalam wadah ini bukan karena sekadar mencari kenalan ataupun sekadar pengisi waktu luang tetapi mungkin saja ini salah satu jalan yang bisa kami tempuh untuk mencapai tujuan utama kami yakni berdakwah dalam karya tulisan serta harapan yang lebih jauh adalah karya-karya yang telah kami buat bisa menjadi sumber inspirasi buat teman-teman, sanak saudara serta adik-adik yang ingin juga memulai dakwah melalui tulisan.
            Besar harapan kami, FLP betul-betul bisa menjadi salah satu pintu menuju cita-cita secara pribadi dan cita-cita bangsa yang saat ini sedang mengusung kegiatan literasi untuk negeri. Melalui FLP yogya mari berkarya, berdakwah dan menginspirasi untuk anak bangsa.

“Dari FLP: Berkarya, Berdakwah dan Menginspirasi”

Filsafat Matematika

FILSAFAT MATEMATIKA



A.      Dimensi Ontologi
Istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh rudolf Goclenius di tahun 1936 M, demi memberikan nama tentang hakekat yang bersifat metafisis. Kemudian dalam perkembangannya Christian Wolf membagi metafisika ke dalam dua yakni metafisika umum dan khusus. 
Metafisika umum tidak lain adalah istilah lain dari ontologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa metafisika atau ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas tentang prinsip mengenai dasar atau paling dalam segala sesuatu yang ada. 
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. 
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Sedangkan menurut Soetriono bahwa Ontologi sinonim dengan metafisika yakni, studi filosofi dalam menentukan tentang sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda dalam menentukan arti, struktur dan juga prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM). 
Pembahasan tentang dimensi ontologis ilmu meliputi persoalan tentang: hakikat ilmu, objek kajian ilmu, dan juga watak atau karakteristik ilmu itu sendiri. Di samping itu juga membahas persoalan-persoalan penting tentang keilmuan yang berkaitan dengannya. Namun sebelumnya perlu dijelaskan sekilas tentang beberapa tafsiran Metafisika tentang kenyataan.
1.         Beberapa Tafsiran Metafisika
Ontologi merupakan cabang dari Metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam suatu kenyataan. Terdapat beberapa tafsiran tentang kenyataan, di antaranya adalah Supernaturalisme dan Naturalisme. Menurut Supernaturalisme, terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata. Ajaran Animisme yang menyatakan bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam benda-benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dan seterusnya, merupakan kepercayaan yang didasarkan pada Supernaturalisme.
Selain itu terdapat pandangan yang bertolak belakang dengan Supernaturalisme. Pandangan ini dikenal dengan Naturalisme dan Materialisme. Materialisme merupakan aliran yang hanya mengakui “materi” sebagai inti dasar dari kenyataan. Paham Materialisme berdasarkan pada Naturalisme yang menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, tetapi oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai pionir ajaran Materialisme adalah Democritos (460-370 SM).
2.         Objek Kajian Ilmu
Sebagaimana diketahui, objek setiap ilmu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena-fenomena di dunia ini yang ditelaah ilmu. Sedangkan objek formal adalah pusat perhatian ilmuwan dalam penelaahan objek material tersebut. Atau dengan kata lain, objek formal merupakan kajian terhadap objek material atas dasar tinjauan atau sudut pandang tertentu.
3.         Ilmu sebagai Sistem
Ilmu sebagai produk merupakan suatu sistem pengetahuan yang di dalamnya berisi penjelasan-penjelasan tentang berbagai fenomena yang menjadi objek kajiannya. Dengan demikian ilmu terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Saling hubungan di antara berbagai komponen tersebut merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah.
Menurut The Liang Gie (2010), sistem pengetahuan ilmiah (ilmu) mencakup lima kelompok unsur, yaitu: jenis-jenis sasaran, bentuk-bentuk pernyataan, ragam-ragam proposisi, ciri-ciri pokok, dan pembagian sistematis.
B.       Dimensi Epistemologi
Epistemologi merupakan salah satu cabang Filsafat yang mengkaji tentang pengetahuan pada umumnya, baik terkait dengan sumber pengetahuan, otoritas, validitas, kebenaran, dan terutama cara-cara memperoleh pengetahuan.
Dimensi epistemologis ilmu menjelaskan tentang prosedur atau tata cara ilmu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Dimensi ini sekaligus menjadi landasan penyelidikan ilmiah, yang harus dimiliki oleh setiap ilmu, sebagai salah satu persyaratan utama.
Pembahasan tentang dimensi epistemologis tersebut meliputi dua aspek penting yang saling berkaitan, yaitu: Kebenaran ilmiah dan metode ilmiah, sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut.


1.         Cara Mendapatkan Pengetahuan
Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu: secara non-ilmiah, yang mencakup: a) akal sehat; b) prasangka; c) intuisi; d) penemuan kebetulan dan coba-coba; dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang dilakukan secara non-ilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), bukan ilmu (science). Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul Measurement, Evaluation, and Research: Ways of Knowing, menyatakan lima macam cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu: pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu.
Dengan cara-cara tersebut akan diperoleh kebenaran sesuai bidangnya masing-masing. Dengan pengalaman akan diperoleh kebenaran inderawi, dengan intuisi akan diperoleh kebenaran intuitif, dengan agama akan diperoleh kebenaran religius, dengan filsafat akan diperoleh kebenaran filosofis, dan dengan ilmu akan diperoleh kebenaran ilmiah.
2.         Pengetahuan dan Kebenaran
Pengetahuan mengandung keterangan tentang suatu objek (objek pengetahuan) secara tepat atau bersifat akurat (benar), sebagaimana adanya, sehingga pengetahuan menghasilkan suatu kebenaran. Kebenaran merupakan suatu nilai atau kualitas yang terkandung dalam suatu pengetahuan, bahwa pengetahuan itu benar atau memiliki kebenaran karena alasan tertentu.
Ilmu dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau kebenaran ilmiah, dan pengetahuan yang benar tersebut harus ditempuh melalui suatu tata cara atau prosedur tertentu. Dalam ilmu, tata cara atau prosedur tersebut dikenal dengan istilah “metode ilmiah”, sebagaimana yang akan jelaskan dalam pembahasan berikut ini.
3.         Metode Ilmiah
Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan science, bukanlah sekedar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta. Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dan seterusnya, yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metode ilmiah. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu: pengalaman, intuisi, pendapat otoritas, penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun penalaran.
Ada paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai produk. Setelah mengkaji berbagai pendapat tentang ilmu, Jujun S. Suriasumantri (1996: 119) menyatakan bahwa ilmu dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu terwujud dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak lain adalah metode ilmiah. Dan sebagai produk, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Ketiga dimensi ilmu tersebut merupakan kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas tertentu, yaitu penelitian ilmiah. Aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan metode ilmiah untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah.
C.      Dimensi Aksiologis Ilmu
Aksiologi didefinisikan sebagai: a branch of philosophy dealing with the nature of values and types of values as in morals, aesthetics, ethics, religion, and methaphysics (cabang filsafat yang berurusan dengan sifat nilai-nilai dan jenis nilai seperti dalam bidang moral, estetika, etika, agama, dan metafisika). John N Warfield mendefinisikannya sebagai: the study of the nature of types of and criteria of values and of value judgments, especially in ethics (studi tentang sifat jenis dan kriteria nilainilai dan pertimbangan nilai, terutama dalam etika) (Nataly Z. Chesky and Mark R. Wolfmeyer, 2015: 19).
Sedangkan Lotze (1880) mendefinisikan aksiologi sebagai the general theory of value; the study of objects of interest (teori umum tentang nilai; studi tentang objek yang menarik). Pendapat lain tentang aksiologi juga dikemukakan oleh Pizarro (http://pespmc1.vub.ac.be/asc/axiology.html), seperti berikut ini.
Axiology involves the values, ethics, and belief systems of aphilosophy / paradigm. Within the critical race theory, axiology is the paradigm's leading influence on research studies. Ontology and epistemology are secondary to the axiology. Critical race theory's, axiology is composed of two elements: equity and democracy (Aksiologi melibatkan nilai-nilai, etika, dan sistem kepercayaan dari filsafat atau paradigma. Dalam teori kritis tentang ras, aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh penting pada studi penelitian. Ontologi dan epistemologi adalah yang kedua untuk aksiologi tersebut. Dalam teori kritis tentang ras, aksiologi terdiri dari dua elemen: ekuitas dan demokrasi) (www.edb.utexas.Nedu/faculty/scheurich/ proj7/axiology.html).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil dua intisari pengertian. Pertama, Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan ragam dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilai-nilai moral, di samping juga nilai-nilai estetika. Kedua, Aksiologi merupakan suatu paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian ilmiah. Setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari muatan Aksiologi, karena Aksiologi memberi landasan arah dan tujuan yang diharapkan atau ingin dicapai oleh penelitian ilmiah.

Baca: Pendidikan

D.      Filsafat Matematika, Logika, dan Yayasan Matematika
Di satu sisi, filsafat matematika berkaitan dengan masalah yang terkait erat dengan masalah sentral metafisika dan epistemologi. Pada blush pertama, matematika muncul untuk belajar entitas abstrak. Hal ini membuat orang bertanya-tanya apa sifat dari entitas matematika terdiri dan bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan tentang entitas matematika. Jika masalah ini dianggap sebagai terselesaikan, maka salah satu mungkin mencoba untuk melihat apakah benda-benda matematis entah bagaimana bisa milik dunia beton setelah semua.
Di sisi lain, ternyata bahwa sampai batas tertentu itu adalah mungkin untuk membawa metode matematis untuk menanggung pada pertanyaan filosofis tentang matematika. Pengaturan di mana ini telah dilakukan adalah bahwa logika matematika ketika secara luas dianggap sebagai bukti terdiri dari teori, teori model, Teori himpunan, dan teori komputabilitas sebagai subbidang. Sehingga abad kedua puluh telah menyaksikan penyelidikan matematika dari konsekuensi dari apa yang di bawah teori filosofis tentang sifat matematika.
Ketika matematikawan profesional prihatin dengan dasar subjek mereka, mereka dikatakan terlibat dalam penelitian dasar. Ketika filsuf profesional menyelidiki pertanyaan filosofis tentang matematika, mereka dikatakan untuk berkontribusi pada filosofi matematika. Tentu saja perbedaan antara filsafat matematika dan dasar-dasar matematika tidak jelas, dan interaksi yang lebih ada antara filsuf dan ahli logika matematika bekerja pada pertanyaan yang berkaitan dengan sifat matematika, semakin baik.
E.       Empat Sekolah
Prospek filosofis dan ilmiah yang umum di abad kesembilan belas cenderung ke arah empiris. Platonistic aspek teori rasionalistik matematika dengan cepat kehilangan dukungan. Terutama sekali sangat-memuji fakultas intuisi rasional ide dianggap dengan kecurigaan. Oleh karena itu menjadi tantangan untuk merumuskan teori filosofis matematika yang bebas dari unsur-unsur platonistic.Pada dekade pertama abad kedua puluh, tiga account non-platonistic matematika dikembangkan: logicism, formalisme, dan intuisionisme. Ada muncul pada awal abad kedua puluh juga program keempat: predicativism. Karena keadaan historis kontingen, potensi sesungguhnya tidak dibawa keluar sampai tahun 1960-an. Namun, cukup layak mendapat tempat di samping tiga sekolah tradisional.
F.       Platonisme
Pada tahun-tahun sebelum perang dunia kedua itu menjadi jelas bahwa keberatan berat telah diajukan terhadap masing-masing dari tiga program anti-Platonis dalam filsafat matematika. Predicativism adalah pengecualian, tapi pada saat program tanpa pembela. Dengan demikian ruang diciptakan untuk suatu minat baru dalam prospek pandangan platonistic tentang sifat matematika. Pada konsepsi platonistic, materi pelajaran matematika terdiri dari entitas abstrak.
1.         Gödel's Platonisme
Gödel adalah seorang Platonis berkenaan dengan objek matematika dan dalam kaitannya dengan konsep-konsep matematika (Gödel 1944, 1964). Tapi melihat platonistic nya lebih canggih daripada matematikawan di jalan.
Gödel menyatakan bahwa ada paralelisme kuat antara teori-teori yang masuk akal objek matematika dan konsep-konsep di satu sisi, dan teori masuk akal benda fisik dan properti di sisi lain.Seperti benda-benda fisik dan sifat, objek matematika dan konsep yang tidak dibangun oleh manusia. Seperti benda-benda fisik dan sifat, objek matematika dan konsep yang tidak dapat direduksi kepada badan mental. Matematika objek dan konsep adalah sebagai tujuan sebagai objek fisik dan sifat. Matematika objek dan konsep adalah, seperti benda-benda fisik dan sifat, didalilkan dalam rangka untuk mendapatkan suatu teori yang memuaskan dari pengalaman kami. Memang, dengan cara yang analog dengan hubungan persepsi kita untuk benda-benda fisik dan sifat, melalui intuisi matematika kita berdiri dalam suatu hubungan kuasi-persepsi dengan objek dan konsep matematika.Persepsi kita tentang objek fisik dan konsep bisa salah dan dapat diperbaiki. Dengan cara yang sama, intuisi matematika tidak bodoh-bukti - sebagai sejarah Frege Dasar Hukum V menunjukkan - tetapi dapat dilatih dan ditingkatkan. Tidak seperti benda-benda fisik dan sifat, benda-benda matematis tidak ada dalam ruang dan waktu, dan konsep-konsep matematika tidak instantiated dalam ruang atau waktu.
Intuisi matematika kami memberikan bukti intrinsik untuk prinsip-prinsip matematika. Hampir semua pengetahuan matematika kita bisa dideduksi dari aksioma Zermelo-Fraenkel Teori himpunan dengan Aksioma of Choice (ZFC). Dalam pandangan Gödel, kita memiliki bukti intrinsik yang meyakinkan untuk kebenaran aksioma ini. Tapi ia juga khawatir bahwa intuisi matematis mungkin tidak cukup kuat untuk memberikan bukti yang menarik bagi aksioma yang secara signifikan melebihi kekuatan ZFC.
Selain dari bukti intrinsik, adalah dalam pandangan Gödel juga mungkin untuk memperoleh bukti ekstrinsik untuk prinsip-prinsip matematika. Jika prinsip-prinsip matematika yang sukses, kemudian, bahkan jika kami tidak dapat memperoleh bukti intuitif bagi mereka, mereka mungkin dianggap sebagai mungkin benar.Gödel mengatakan bahwa "sukses di sini berarti berbuah di konsekuensi, terutama di 'diverifikasi' konsekuensi, yaitu konsekuensi diverifikasi tanpa aksioma baru, yang bukti-bukti dengan bantuan dari aksioma baru, bagaimanapun, adalah jauh lebih sederhana dan lebih mudah untuk menemukan, dan yang membuat mungkin untuk kontrak menjadi satu bukti banyak berbeda bukti [...] Tidak mungkin ada aksioma sangat banyak di konsekuensi diverifikasi mereka, shedding cahaya begitu banyak di seluruh bidang, seperti menghasilkan metode yang kuat untuk memecahkan masalah [...] itu, tidak peduli atau tidak mereka secara intrinsik perlu, mereka harus diterima sedikitnya dalam arti sama dengan teori fisika yang mapan "(Gödel 1947, 477). Gödel ini terinspirasi untuk mencari aksioma baru yang dapat ekstrinsik termotivasi dan yang dapat memutuskan pertanyaan-pertanyaan seperti hipotesis kontinum, yang sangat independen dari ZFC (lih. Bagian 5.1).
Gödel Hilbert berbagi keyakinan bahwa semua pertanyaan matematika memiliki jawaban yang pasti. Tapi Platonisme dalam filsafat matematika tidak boleh dianggap ipso facto berkomitmen untuk memegang bahwa semua dalil set-teoretis memiliki nilai kebenaran tentu. Ada versi Platonisme yang menjaga, misalnya, bahwa semua teorema ZFC dibuat benar oleh fakta set-teoritis menentukan, tetapi bahwa tidak ada fakta set-teori yang membuat pernyataan tertentu yang sangat independen dari ZFC kebenaran-tentu. Tampaknya set teori terkenal Paul Cohen diadakan beberapa pandangan seperti (Cohen 1971).

2.         Naturalisme dan Indispensability
Quine diartikulasikan kritik metodologis filsafat tradisional. Dia menyarankan metodologi filosofis yang berbeda daripada yang telah menjadi dikenal sebagai naturalisme (Quine 1969). Menurut naturalisme, teori-teori kita yang terbaik adalah teori ilmiah terbaik kami. Kita juga harus menahan diri dari memulai penyelidikan epistemologis atau metafisik fundamental mulai dari prinsip-prinsip pertama. Sebaliknya, kita harus berkonsultasi dan menganalisis teori-teori ilmiah yang terbaik. Mereka berisi, meskipun seringkali secara implisit, rekening kami saat ini terbaik dari apa yang ada, apa yang kita tahu, dan bagaimana kita tahu itu.
Putnam diterapkan sikap naturalistik Quine untuk ontologi matematika (Putnam 1972). Sejak Galileo, teori-teori kita terbaik dari ilmu-ilmu alam secara matematis dinyatakan. Teori gravitasi Newton, misalnya, sangat bergantung pada teori klasik dari bilangan real. Jadi komitmen ontologis terhadap entitas matematika tampaknya melekat pada teori-teori ilmiah terbaik kami. Garis penalaran ini bisa diperkuat oleh menarik tesis Quinean dari holisme confirmational. Bukti empiris tidak memberikan kekuasaan konfirmatori pada setiap hipotesis satu orang. Sebaliknya, pengalaman global menegaskan teori di mana hipotesis individu tertanam. Karena teori matematika adalah bagian dan bingkisan dari teori-teori ilmiah, mereka juga sudah dikonfirmasi oleh pengalaman. Jadi, kami telah konfirmasi empiris untuk teori matematika. Bahkan lebih muncul benar. Tampaknya bahwa matematika sangat diperlukan untuk teori-teori ilmiah terbaik kami: itu sama sekali tidak jelas bagaimana kita bisa mengekspresikan mereka tanpa menggunakan kosa kata matematika. Oleh karena itu sikap naturalis memerintahkan kita untuk menerima entitas matematika sebagai bagian dari ontologi filosofis kita. Baris ini argumentasi disebut argumen indispensability (Colyvan 2001).
Jika kita mengambil matematika yang terlibat dalam teori-teori ilmiah yang terbaik pada nilai nominalnya, maka kita tampaknya berkomitmen untuk bentuk Platonisme. Tetapi merupakan bentuk yang lebih sederhana Platonisme dari Platonisme Gödel's. Untuk tampak bahwa ilmu alam dapat bertahan dengan (sekitar) fungsi ruang di bilangan real. Daerah yang lebih tinggi teori himpunan transfinite tampaknya sangat tidak relevan bahkan teori-teori kita paling maju dalam ilmu alam. Namun demikian, Quine pikir (di beberapa titik) bahwa set yang didalilkan oleh ZFC dapat diterima dari sudut pandang naturalistik, mereka dapat dianggap sebagai pembulatan murah hati-off dari matematika yang terlibat dalam teori-teori ilmiah kita. Quine penilaian tentang masalah ini tidak diterima secara universal. Feferman, misalnya, berpendapat bahwa semua teori matematika yang pada dasarnya digunakan dalam teori-teori ilmiah saat ini yang terbaik adalah predicatively direduksi (Feferman 2005).
Dalam filsafat Quine's, ilmu-ilmu alam adalah penengah utama tentang keberadaan dan kebenaran matematika matematika. Hal ini menyebabkan Charles Parsons ke objek bahwa gambar ini membuat kejelasan matematika dasar agak misterius (Parsons 1980). Sebagai contoh, pertanyaan apakah setiap nomor alamiah memiliki penerus akhirnya tergantung, dalam pandangan Quine, pada teori empiris yang terbaik, namun entah bagaimana fakta ini muncul lebih cepat dari itu. Dalam semangat yang sama, catatan Maddy bahwa matematikawan tidak menganggap diri mereka berada dalam cara apapun dibatasi dalam kegiatan mereka dengan ilmu-ilmu alam. Memang, orang mungkin bertanya-tanya apakah matematika tidak harus dianggap sebagai ilmu dalam dirinya sendiri, dan apakah komitmen ontologis matematika tidak harus dinilai bukan berdasarkan metode rasional yang tersirat dalam praktek matematika.
Termotivasi oleh pertimbangan, Maddy berangkat untuk menyelidiki standar eksistensi tersirat dalam praktek matematika, dan ke dalam komitmen ontologis implisit matematika yang mengikuti dari standar (Maddy 1990). Dia difokuskan pada teori himpunan, dan pada pertimbangan metodologis yang dibawa untuk menanggung oleh komunitas matematika pada pertanyaan yang aksioma-kardinal besar dapat diambil untuk menjadi kenyataan. Jadi pandangannya lebih dekat dengan yang Gödel dibandingkan dengan yang Quine. Dalam karyanya yang lebih baru, dia isolat dua pepatah yang tampaknya akan membimbing teori set ketika merenungkan prinsip penerimaan set-teori baru: menyatukan dan memaksimalkan (Maddy 1997). Pepatah itu "menyatukan" adalah dorongan bagi teori himpunan untuk menyediakan sistem tunggal di mana semua objek matematika dan semua struktur matematika dapat instantiated atau dimodelkan. pepatah The "memaksimalkan" berarti bahwa teori himpunan harus mengadopsi prinsip-prinsip teoritis set-yang sebagai kuat dan berbuah matematis mungkin.

3.         Mengempis Platonisme
Bernays mengamati bahwa ketika seorang matematikawan sedang bekerja dia "naif" memperlakukan benda-benda dia berurusan dengan cara platonistic. Setiap matematikawan bekerja, katanya, adalah sebuah Platonis (Bernays 1935). Tetapi ketika matematikawan adalah tertangkap tugas oleh seorang filsuf yang kuis tentang komitmen ontologis, ia cenderung untuk kaki shuffle dan menarik diri ke posisi non-platonistic samar-samar. Ini telah diambil oleh beberapa orang untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang sifat objek matematika dan pengetahuan matematika.
Carnap memperkenalkan perbedaan antara pertanyaan yang internal untuk kerangka kerja dan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksternal dengan kerangka kerja (Carnap 1950). Tait telah bekerja secara rinci bagaimana hal seperti perbedaan ini dapat diterapkan untuk matematika (Tait 2005). Ini telah menghasilkan apa yang mungkin dianggap sebagai versi deflasi dari Platonisme.
Menurut Tait, pertanyaan keberadaan entitas matematika hanya dapat diminta bijaksana dan cukup menjawab dari dalam (aksiomatik) kerangka matematis. Jika seseorang bekerja di teori bilangan, misalnya, maka kita dapat bertanya apakah ada bilangan prima yang memiliki properti tertentu. Pertanyaan semacam ini kemudian akan diputuskan atas dasar murni matematika.
Filsuf memiliki kecenderungan untuk langkah di luar kerangka matematika dan bertanya "dari luar" apakah objek matematika benar-benar ada dan apakah proposisi matematika adalah benar.Dalam pertanyaan ini mereka meminta supra-dasar matematika atau metafisik untuk kebenaran matematika dan klaim eksistensi.Tait berpendapat bahwa sulit untuk melihat bagaimana akal dapat dibuat pertanyaan eksternal seperti. Dia mencoba untuk menurunkan mereka, dan membawa mereka kembali ke tempat mereka berada: untuk berlatih matematika itu sendiri. Tentu saja tidak semua orang setuju dengan Tait pada titik ini. Linsky dan Zalta telah mengembangkan cara sistematis menjawab tepat jenis pertanyaan eksternal yang Tait pendekatan dengan jijik (Linsky & Zalta 1995).
Ia datang tidak mengejutkan bahwa Tait memiliki sedikit digunakan untuk menarik Gödelian untuk intuisi matematika dalam filsafat matematika, atau untuk tesis filosofis bahwa obyek matematika ada "di luar ruang dan waktu". Secara umum, Tait berpendapat bahwa matematika tidak memerlukan landasan filosofis, ia ingin membiarkan matematika berbicara sendiri.Dalam hal ini, posisinya mengingatkan pada (dalam arti Wittgensteinian) sikap ontologis alam yang dianjurkan oleh Arthur Fine dalam perdebatan realisme dalam filsafat ilmu.

4.         Benacerraf's epistemologis Masalah
Benacerraf dirumuskan masalah epistemologis untuk berbagai posisi platonistic dalam filsafat ilmu (Benacerraf 1973). Argumen ini secara khusus ditujukan terhadap rekening intuisi matematika seperti yang dari Gödel. argumen Benacerraf dimulai dari premis bahwa teori terbaik kita pengetahuan adalah teori kausal pengetahuan. Hal ini kemudian dicatat bahwa menurut Platonisme, benda-benda abstrak tidak spasial atau temporal lokal, sedangkan daging-dan-darah matematikawan secara spasial dan temporal lokal. Teori terbaik epistemologis kami kemudian memberitahu kita bahwa pengetahuan entitas matematika harus dihasilkan dari interaksi kausal dengan entitas tersebut. Tapi sulit membayangkan bagaimana ini bisa terjadi.
Hari ini beberapa epistemologists berpendapat bahwa teori kausal pengetahuan adalah teori pengetahuan terbaik kami. Tapi ternyata bahwa masalah Benacerraf adalah sangat kuat di bawah variasi teori epistemologis. Sebagai contoh, mari kita asumsikan demi argumen bahwa reliabilism adalah teori pengetahuan terbaik kami. Kemudian masalah menjadi untuk menjelaskan bagaimana kita berhasil mendapatkan kepercayaan yang dapat diandalkan tentang entitas matematika.
Hodes telah merumuskan varian semantical masalah epistemologis Benacerraf's (Hodes 1984). Menurut teori kami saat ini terbaik dari referensi, koneksi kausal-historis antara manusia dan dunia concreta memungkinkan kata-kata kita untuk merujuk kepada badan fisik dan sifat. Menurut Platonisme, matematika mengacu pada entitas abstrak. Platonis Karena itu berhutang kita account masuk akal tentang bagaimana kita (secara fisik diwujudkan manusia) dapat merujuk kepada mereka.Di wajah itu, tampak bahwa teori kausal acuan tidak akan mampu untuk memasok kita dengan account yang dibutuhkan dari 'mikro acuan' wacana matematika.

5.         Plenitudinous Platonisme
Sebuah versi dari Platonisme telah dikembangkan yang dimaksudkan untuk memberikan solusi untuk masalah epistemologis Benacerraf's (Linsky & Zalta 1995; Balaguer 1998).Posisi ini dikenal sebagai plenitudinous Platonisme. Tesis sentral dari teori ini adalah bahwa setiap teori matematika secara logis konsisten harus mengacu pada suatu entitas abstrak. Apakah matematika yang dirumuskan teori tahu bahwa itu merujuk atau tidak tahu ini, sebagian besar material. Dengan menghibur sebuah teori matematis yang konsisten, matematika secara otomatis memperoleh pengetahuan tentang subyek teori. Jadi, pada pandangan ini, tidak ada masalah epistemologis untuk memecahkan lagi.
Dalam versi Balaguer's, Platonisme plenitudinous mendalilkan aneka ragam alam semesta matematika, masing-masing sesuai dengan teori matematika konsisten. Jadi, pertanyaan seperti masalah kontinum tidak menerima jawaban yang unik: di beberapa set alam semesta teoritis hipotesis kontinum memegang, di lain itu gagal terus. Namun, tidak semua orang setuju bahwa gambar ini dapat dipertahankan. Martin telah dikembangkan argumen untuk menunjukkan bahwa alam semesta beberapa dapat selalu "akumulasi" ke dalam alam semesta tunggal (Martin 2001).
Dalam versi Linsky dan Zalta tentang Platonisme plenitudinous, entitas matematika yang dipostulasikan oleh teori matematika yang konsisten telah persis sifat matematika yang dikaitkan kepadanya oleh teori. Entitas abstrak yang berhubungan dengan ZFC, misalnya, adalah parsial dalam arti bahwa hal itu tidak membuat hipotesis kontinum benar atau salah. Alasannya adalah bahwa ZFC tidak memerlukan hipotesis kontinum ataupun penyangkalan. Ini tidak berarti bahwa semua cara konsisten memperluas ZFC berada di setara. Beberapa cara mungkin akan berbuah dan kuat, yang lain kurang begitu. Tapi melihat tidak menyangkal bahwa cara-cara yang konsisten tertentu memperluas ZFC yang lebih baik karena mereka terdiri dari prinsip-prinsip sejati sedangkan yang lain mengandung prinsip-prinsip palsu.
G.      Topik Khusus
Dalam beberapa tahun terakhir, subdisiplin dari filosofi matematika mulai timbul. Mereka berevolusi dengan cara yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh "perdebatan besar" tentang sifat matematika. Dalam bagian penutup, kita melihat beberapa disiplin ilmu ini.

1.         Filsafat Teori
Banyak hal Teori himpunan sebagai dasar matematika.Tampaknya bahwa hampir setiap bagian dari matematika dapat dilakukan dalam teori himpunan, meskipun kadang-kadang pengaturan canggung untuk melakukannya. Dalam beberapa tahun terakhir, filsafat teori himpunan yang muncul sebagai disiplin filosofis sendiri. Ini bukan untuk mengatakan bahwa dalam debat khusus dalam filsafat teori himpunan tidak dapat membuat perbedaan besar apakah salah satu pendekatan dari titik formalistic melihat atau dari sudut pandang platonistic, misalnya.
Satu pertanyaan yang telah penting dari awal kekhawatiran teori himpunan perbedaan antara set dan kelas yang tepat. Argumen diagonal Cantor memaksa kita untuk mengakui bahwa alam semesta set-teoritis secara keseluruhan tidak dapat dianggap sebagai satu set. Teorema Cantor menunjukkan bahwa himpunan daya (yaitu himpunan semua subset) dari himpunan memiliki kardinalitas yang lebih besar daripada yang diberikan mengatur dirinya sendiri. Sekarang anggaplah bahwa alam semesta set-teoritis bentuk satu set: himpunan semua set. Lalu power set dari himpunan semua set harus subset dari himpunan semua set. Hal ini akan bertentangan dengan kenyataan bahwa power set dari himpunan semua set akan memiliki kardinalitas lebih besar daripada himpunan semua set. Jadi kita harus menyimpulkan bahwa alam semesta set-teoretis tidak bisa membentuk set.
Penyanyi yang disebut kemajemukan yang terlalu besar untuk dianggap sebagai multiplicities konsisten set (penyanyi 1932).Hari ini, multiplicities konsisten penyanyi disebut kelas yang tepat.Beberapa filsuf matematika berpendapat bahwa kelas-kelas yang tepat masih merupakan kesatuan, dan karenanya dapat dilihat sebagai semacam koleksi. Mereka adalah, dalam semangat Cantorian, hanya koleksi yang terlalu besar untuk set. Namun demikian, ada masalah dengan pandangan ini. Sama seperti tidak ada himpunan semua set, tidak untuk alasan diagonalisasi juga tidak menjadi kelas yang tepat dari semua kelas yang tepat.Jadi pandangan yang tepat kelas tampaknya dipaksa untuk mengakui di samping sebuah dunia kelas super-tepat, dan sebagainya. Untuk alasan ini, Zermelo mengklaim bahwa kelas-kelas yang tepat sama sekali tidak ada. Posisi ini kurang aneh daripada yang terlihat pada pandangan pertama. Pada pemeriksaan dekat, orang melihat bahwa dalam ZFC orang tidak pernah perlu menghitung lebih dari entitas yang terlalu besar untuk set (meskipun terdapat sistem teori himpunan yang menghitung lebih dari kelas yang tepat). Pada pandangan ini, alam semesta set-teoritis adalah potensial tidak terbatas secara mutlak dari kata itu. Tidak pernah ada secara keseluruhan selesai, tetapi selamanya tumbuh, dan karenanya selamanya belum selesai.Cara berbicara mengungkapkan bahwa dalam upaya kita untuk memahami gagasan tak terhingga potensial mutlak, kita ditarik untuk metafora temporal. Tidaklah mengherankan bahwa metafora temporal menyebabkan beberapa filsuf matematika ketidaknyamanan akut.
Sebuah subyek kedua dalam filsafat keprihatinan teori himpunan pembenaran prinsip-prinsip dasar matematika yang diterima, yaitu aksioma ZFC. Sebuah studi kasus yang penting sejarah adalah proses di mana Aksioma Pilihan datang untuk diterima oleh komunitas matematika dalam dekade-dekade awal abad kedua puluh (Moore 1982). Pentingnya studi kasus ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa diskusi terbuka dan eksplisit penerimaan yang diadakan dalam komunitas matematika. Dalam diskusi ini, alasan umum untuk menerima atau menolak untuk menerima prinsip sebagai aksioma dasar datang ke permukaan.Di sisi sistematis, dua konsepsi gagasan set telah diuraikan yang bertujuan untuk membenarkan semua aksioma ZFC dalam satu kali kejadian. Di satu sisi, ada konsepsi berulang set, yang menjelaskan bagaimana alam semesta set-teoritis dapat dianggap sebagai yang dihasilkan dari set kosong dengan cara operasi mengatur daya (Boolos 1971). Di sisi lain, ada batasan-konsepsi-ukuran set, yang menyatakan bahwa setiap penagihan yang tidak terlalu besar untuk mengatur, adalah satu set (Hallett 1984). Konsepsi iteratif memotivasi beberapa aksioma ZFC sangat baik (aksioma ditetapkan listrik, misalnya), tetapi tarif kurang baik berkenaan dengan aksioma lain (seperti aksioma pengganti). Keterbatasan-konsepsi-ukuran memotivasi aksioma lain yang lebih baik (seperti aksioma pemahaman terbatas). Banyak filsuf matematika percaya bahwa kita sekarang ini tidak memiliki konsepsi seragam yang jelas-jelas membenarkan semua aksioma ZFC.
Motivasi dari aksioma putatif yang melampaui ZFC merupakan keprihatinan sepertiga dari filsafat teori himpunan (Maddy 1988; Martin 1998). Salah satu kelas seperti prinsip didasari oleh aksioma-kardinal besar. Saat ini, hipotesis besar-kardinal benar-benar diambil untuk berarti beberapa jenis embedding sifat antara alam semesta dan model teoritis ditetapkan dalam teori himpunan. Sebagian besar waktu, prinsip-kardinal besar memerlukan adanya set yang lebih besar daripada set yang dapat dijamin oleh ZFC ada.
Gödel berharap bahwa berdasarkan aksioma besar-kardinal seperti itu, pertanyaan-pertanyaan terbuka yang penting dalam teori himpunan akhirnya bisa diselesaikan. Masalah set-teoritis yang paling penting adalah masalah kontinum. Hipotesis kontinum diusulkan oleh penyanyi pada akhir abad kesembilan belas. Hal ini menyatakan bahwa tidak ada set S yang terlalu besar untuk ada menjadi korespondensi satu-ke-satu antara S dan nomor alam, tapi terlalu kecil untuk di sana ada sebuah korespondensi satu-ke-satu antara S dan bilangan real. Meskipun usaha keras, semua upaya untuk menyelesaikan masalah kontinum gagal. Gödel datang untuk mencurigai bahwa hipotesis kontinum tidak tergantung pada prinsip-prinsip teori himpunan diterima. Sekitar 1940, ia berhasil menunjukkan bahwa hipotesis kontinum konsisten dengan ZFC. Beberapa dekade kemudian, Paul Cohen membuktikan bahwa negasi dari hipotesis kontinum juga konsisten dengan ZFC. Jadi dugaan Gödel tentang kemerdekaan hipotesis kontinum akhirnya dikonfirmasi.
Tapi berharap Gödel bahwa aksioma-kardinal besar dapat memecahkan masalah kontinum ternyata tidak berdasar.Hipotesis kontinum adalah independen dari ZFC bahkan dalam konteks aksioma besar-kardinal yang paling. Namun demikian, prinsip-kardinal besar telah berhasil menyelesaikan versi terbatas dari hipotesis kontinum (dengan persetujuan). Keberadaan kardinal Woodin disebut memastikan bahwa set didefinisikan dalam analisis baik dapat dihitung atau ukuran kontinum. Dengan demikian masalah kontinum diuraikan diselesaikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya telah difokuskan untuk menemukan prinsip-prinsip dari jenis yang berbeda yang mungkin dibenarkan dan yang belum dapat menentukan hipotesis kontinum (Woodin 2001a, 2001b).
Banyak para peneliti yang berusaha untuk memutuskan hipotesis kontinum berdasarkan aksioma baru berpikir bahwa sudah ada bukti yang signifikan untuk tesis bahwa hipotesis kontinum adalah palsu. Tetapi ada juga teori banyak diatur dan filsuf matematika yang percaya bahwa hipotesis kontinum tidak hanya diputuskan dalam ZFC tapi benar-benar diputuskan, yaitu, bahwa itu adalah tidak dapat dibuktikan (dalam arti kata informal) atau disprovable (dalam arti informal kata tersebut). Hal ini terkait dengan pertanyaan yang lebih umum apakah ada batas-batas yang wajar dapat ditempatkan pada perluasan konsep provability informal.Saat ini, wilayah penelitian terbuka lebar.

2.         Categoricity
Dalam paruh kedua abad kesembilan belas Dedekind membuktikan bahwa aksioma dasar aritmatika miliki, sampai isomorfisma, tepat satu model, dan bahwa hal yang sama berlaku untuk aksioma dasar Analisis Real. Jika teori memiliki, hingga isomorfisma, tepat satu model, maka dikatakan kategoris. Jadi isomorphisms modulo, aritmatika dan analisis masing-masing memiliki tepat satu model dimaksudkan. Setengah abad kemudian Zermelo membuktikan bahwa prinsip-prinsip teori himpunan adalah "hampir" kategoris atau kuasi-kategoris: untuk setiap dua model M1 dan M2 prinsip-prinsip teori himpunan, baik M1 isomorfis untuk M2, atau M1 isomorfik ke kuat peringkat tidak dapat diakses dari M2, atau M2 isomorfik ke peringkat yang sangat tidak dapat diakses M1. Baru-baru ini, McGee telah menunjukkan bahwa jika kita mempertimbangkan Teori himpunan dengan Urelements, maka teori itu sepenuhnya kategoris sehubungan dengan set murni jika kita berasumsi bahwa hanya ada set-banyak Urelements (McGee 1997).
Pada saat yang sama, teorema Löwenheim-Skolem mengatakan bahwa setiap orde pertama teori formal yang memiliki setidaknya satu model dengan domain yang tak terbatas, harus memiliki model dengan domain dari semua kardinalitas terbatas. Karena prinsip aritmatika, analisis dan teori himpunan lebih baik memiliki setidaknya satu model yang tak terhingga, teorema Löwenheim-Skolem tampaknya berlaku untuk mereka. 
Solusi dari teka-teki ini terletak pada kenyataan bahwa Dedekind bahkan tidak implisit bekerja dengan formalizations order pertama dari prinsip-prinsip dasar aritmatika dan analisis. Sebaliknya, ia secara informal bekerja dengan formalizations orde kedua. Hal yang sama berlaku untuk Zermelo dan McGee.
Mari kita fokus pada aritmatika untuk melihat apa jumlah ini. Dalil-dalil dasar aritmatika berisi aksioma induksi. Dalam formalizations order pertama dari aritmatika, hal ini dirumuskan sebagai skema: untuk setiap orde pertama formula aritmatika dengan satu variabel bebas, sebuah instance dari prinsip induksi dimasukkan dalam formalisasi aritmatika. Dasar pertimbangan kardinalitas menunjukkan bahwa ada banyak sifat tak terbatas bilangan asli yang tidak dinyatakan dengan formula orde pertama. Tapi secara intuitif, tampaknya bahwa prinsip induksi berlaku untuk semua sifat-sifat alam nomor. Jadi dalam bahasa orde pertama, kekuatan penuh dari prinsip induksi matematika tidak bisa diungkap. Untuk alasan ini, sejumlah filsuf matematika bersikeras bahwa dalil-dalil aritmatika harus dirumuskan dalam bahasa orde kedua (Shapiro 1991). Kedua-order bahasa mengandung tidak hanya orde pertama bilangan yang berkisar lebih dari unsur-unsur dari domain, tetapi juga orde kedua bilangan yang berkisar lebih dari sifat (atau himpunan bagian) dari domain. Dalam logika orde kedua penuh, bersikeras bahwa bilangan orde kedua rentang atas semua himpunan bagian dari domain. Jika prinsip-prinsip aritmatika dirumuskan dalam bahasa kedua-order, maka argumen Dedekind's berjalan melalui dan kami memiliki teori kategoris.Untuk alasan yang sama, kami juga mendapatkan teori kategoris jika kita merumuskan prinsip-prinsip dasar Analisis Real dalam bahasa orde kedua, dan perumusan kedua-order teori himpunan ternyata menjadi kuasi-kategoris.
Ante rem strukturalisme, serta penafsiran strukturalis nominalis modal matematika, dapat mengambil manfaat dari formulasi orde kedua. Jika strukturalis rem ante ingin menegaskan bahwa struktur alam jumlahnya tetap sampai dengan isomorfisma oleh aksioma Peano, maka dia akan ingin merumuskan aksioma Peano dalam logika orde kedua. Dan strukturalis nominalis modal akan ingin menegaskan bahwa sistem beton yang relevan untuk aritmatika adalah mereka yang membuat orde kedua Peano aksioma yang benar (Hellman 1989). Demikian pula untuk analisis matematika dan teori himpunan. Dengan demikian menarik bagi logika orde kedua muncul sebagai langkah terakhir dalam proyek strukturalis dari mengisolasi model dimaksudkan matematika.
Namun menarik bagi logika orde kedua dalam filsafat matematika tidak berarti tidak kontroversial. Suatu keberatan yang pertama adalah bahwa komitmen ontologis logika orde kedua lebih tinggi dari komitmen ontologis logika orde pertama. Setelah semua, penggunaan logika orde kedua tampaknya berkomitmen kami untuk keberadaan benda abstrak: kelas. Menanggapi masalah ini, Boolos telah diartikulasikan interpretasi logika orde kedua yang menghindari ini komitmen untuk entitas abstrak (Boolos 1985).Penafsirannya merinci klausul kebenaran untuk bilangan orde kedua dalam hal ekspresi jamak, tanpa memanggil kelas.Misalnya, ekspresi kedua-order bentuk XF (X) ditafsirkan sebagai: "ada beberapa hal-hal seperti F yang memegang dari mereka". Penafsiran ini disebut penafsiran jamak dari logika orde kedua. (Lihat entri pada kuantifikasi plural.) Jelas bahwa banding sedemikian penafsiran logika kedua order akan menggoda untuk versi nominalis strukturalisme.
Suatu keberatan yang kedua terhadap logika orde kedua dapat ditelusuri kembali ke Quine (Quine 1970). Ini menyatakan keberatan bahwa interpretasi logika orde kedua penuh dihubungkan dengan set-pertanyaan teoritis. Hal ini sudah ditunjukkan oleh fakta bahwa kebanyakan regimentations logika orde kedua mengadopsi versi aksioma pilihan sebagai salah satu aksioma nya. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa orde kedua logika ini erat terkait dengan masalah mendalam dalam teori himpunan, seperti hipotesis kontinum. Untuk teori-teori seperti aritmatika, yang bermaksud untuk menggambarkan koleksi benda-benda yang tak terbatas, bahkan materi sebagai dasar sebagai pertanyaan kardinalitas kisaran quantifiers orde kedua setara dengan masalah kontinum.Juga, ternyata bahwa ada suatu kalimat yang merupakan orde kedua kebenaran logis jika dan hanya jika hipotesis kontinum memegang (Boolos 1975). Kita telah melihat bahwa masalah kontinum tidak tergantung pada prinsip-prinsip yang berlaku saat ini teori himpunan. Dan banyak peneliti percaya bahwa itu benar-benar kebenaran berharga. Jika demikian, maka ada ketidakpastian melekat dalam gagasan tentang model orde kedua tak terbatas. Dan banyak filsuf kontemporer matematika mengambil yang terakhir tidak memiliki nilai kebenaran tentu. Oleh karena itu, berpendapat, gagasan tentang model (tak terbatas) logika orde kedua penuh secara inheren tak tentu.
Jika salah satu tidak ingin menarik logika orde kedua penuh, maka ada cara lain untuk memastikan categoricity teori matematika. Satu ide akan memanfaatkan bilangan yang entah pertengahan antara orde pertama dan orde kedua bilangan.Misalnya, satu mungkin memperlakukan "ada banyak finitely x" sebagai quantifier primitif. Hal ini akan memungkinkan satu, misalnya, untuk membangun sebuah axiomatization kategori aritmatika.
Tapi categoricity memastikan teori matematika tidak memerlukan memperkenalkan pembilang lebih kuat. Pilihan lain akan mengambil konsep informal komputabilitas algoritmik sebagai gagasan primitif (Halbach & Horsten 2005). Sebuah teorema Tennenbaum menyatakan bahwa semua model pertama-order Peano Aritmetika di mana penjumlahan dan perkalian adalah fungsi komputasi, isomorfik satu sama lain. Sekarang operasi kami penambahan dan perkalian adalah komputasi: jika kita tidak pernah bisa belajar operasi ini. Ini, kemudian, adalah cara lain di mana kita mungkin dapat mengisolasi model dimaksudkan prinsip kita aritmatika. Terhadap account ini, bagaimanapun, mungkin menunjukkan bahwa tampaknya bahwa categoricity model dimaksudkan untuk analisis riil, misalnya, tidak dapat dipastikan dengan cara ini. Untuk perhitungan pada model prinsip analisis riil, kita tidak memiliki teorema yang memainkan peran teorema

3.         Perhitungan dan Bukti
Sampai akhir-akhir ini, subjek perhitungan tidak menerima banyak perhatian dalam filsafat matematika. Hal ini mungkin disebabkan sebagian fakta bahwa dalam axiomatizations Hilbert-gaya teori bilangan, perhitungan dikurangi menjadi bukti dalam Peano aritmatika. Tapi situasi ini telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Tampaknya bahwa seiring dengan meningkatnya pentingnya perhitungan matematis dalam praktek, refleksi filosofis pada gagasan perhitungan akan menempati tempat yang lebih menonjol dalam filsafat matematika di tahun-tahun mendatang.
Gereja Tesis menempati tempat sentral dalam teori komputabilitas. Ia mengatakan bahwa setiap fungsi algoritma komputasi pada bilangan asli dapat dihitung oleh mesin Turing.
Sebagai sebuah prinsip, Gereja Tesis memiliki status agak aneh.Ini tampaknya menjadi prinsip dasar. Di satu sisi, prinsip ini hampir secara universal dianggap benar. Di sisi lain, sulit untuk melihat bagaimana hal itu bisa dibuktikan secara matematis.Alasannya adalah bahwa yg yang berisi gagasan informal (komputabilitas algoritmik), sedangkan konsekuensi yang berisi gagasan murni matematika (Turing komputabilitas mesin).Matematika bukti hanya bisa terhubung gagasan murni matematika - atau sepertinya begitu. Pandangan yang diterima adalah bahwa bukti kita untuk Tesis Gereja adalah kuasi-empiris.Upaya untuk menemukan tandingan meyakinkan untuk Tesis Gereja menyebabkan sia-sia. Mandiri, berbagai proposal telah dibuat untuk menangkap matematis fungsi algoritma komputasi di alam nomor. Daripada mesin Turing komputabilitas, pengertian tentang recursiveness umum, komputabilitas Herbrand-Gödel, lambda-definability, ... telah diusulkan. Namun gagasan matematika semua berubah menjadi setara. Jadi, untuk menggunakan Gödelian terminologi, kami telah mengumpulkan bukti ekstrinsik untuk kebenaran Tesis Gereja.
Kreisel lama menunjukkan bahwa bahkan jika tesis tidak dapat dibuktikan secara formal, masih dimungkinkan untuk memperoleh bukti intrinsik untuk itu dari analisis yang ketat tetapi informal gagasan intuitif (Kreisel 1967). Kreisel menyebut latihan di kekakuan informal. beasiswa Detil oleh Sieg mengungkapkan bahwa artikel seminalis Turing (Turing 1936) merupakan contoh indah hanya semacam ini analisis konsep intuitif komputabilitas algoritmik (Sieg 1994).
Saat ini, mata pelajaran yang paling aktif penyelidikan dalam domain yayasan dan filosofi perhitungan tampaknya berikut.Pertama, energi telah diinvestasikan dalam mengembangkan teori perhitungan algoritmik pada struktur lain dari alam nomor. Secara khusus, upaya telah dilakukan untuk mendapatkan analog Tesis Gereja untuk perhitungan algoritmik pada berbagai struktur. Dalam konteks ini, kemajuan substansial telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir dalam mengembangkan teori komputasi berlaku pada bilangan real (Pour-El 1999). Kedua, upaya telah dilakukan untuk menjelaskan pengertian tentang komputabilitas selain komputabilitas algoritmik oleh manusia. Salah satu bidang minat tertentu di sini adalah bidang perhitungan kuantum (Deutsch et al. 2000).
Beberapa dekade terakhir telah menyaksikan bukti kejadian pertama matematika di mana komputer tampaknya memainkan peran penting. Teorema empat warna adalah salah satu contoh. Ia mengatakan bahwa untuk setiap peta, hanya empat warna yang dibutuhkan untuk warna negara sedemikian rupa sehingga tidak ada dua negara yang memiliki perbatasan bersama menerima warna yang sama. teorema ini terbukti tahun 1976 (Appel et al 1977.). Tapi buktinya membedakan banyak kasus yang diverifikasi oleh komputer. Verifikasi ini komputer terlalu lama untuk dicek dua kali oleh manusia. Bukti dari teorema empat warna menimbulkan perdebatan tentang pertanyaan sejauh mana bukti-bukti yang dibantu komputer dianggap sebagai bukti dalam arti sebenarnya dari kata tersebut.
Pandangan yang diterima mengatakan bahwa bukti matematika menghasilkan pengetahuan apriori. Namun ketika kita bergantung pada komputer untuk menghasilkan (bagian dari) bukti, kita tampaknya mengandalkan berfungsinya perangkat keras komputer dan pada kebenaran program komputer. Ini tampaknya menjadi faktor empiris. Jadi seseorang tergoda untuk menyimpulkan bahwa bukti komputer menghasilkan pengetahuan kuasi-empiris (Tymoczko 1979). Dengan kata lain, melalui munculnya bukti komputer gagasan bukti telah kehilangan murni yang karakter apriori. Lain berpendapat bahwa faktor-faktor empiris yang kita bergantung saat kita menerima bukti komputer tidak muncul sebagai premis dalam argumen. Oleh karena itu, bukti komputer dapat menghasilkan pengetahuan apriori setelah semua (Burge 1998).
Sumber ketidaknyamanan yang matematikawan pengalaman ketika dihadapkan dengan bukti-bukti komputer tampaknya berikut. Sebuah "baik" bukti matematika harus melakukan lebih dari untuk meyakinkan kita bahwa pernyataan tertentu adalah benar. Ini juga harus menjelaskan mengapa laporan tersebut berlaku. Dan ini dilakukan dengan mengacu pada hubungan yang mendalam antara konsep-konsep matematika dalam yang sering ngelink domain matematika yang berbeda (Manders 1989).Sampai saat ini, bukti komputer biasanya hanya menggunakan konsep matematika tingkat rendah. Mereka terkenal lemah untuk mengembangkan konsep-konsep yang mendalam pada mereka sendiri, dan memiliki kesulitan dengan menghubungkan konsep-konsep dari bidang matematika yang berbeda. Semua ini membawa kita ke sebuah pertanyaan filosofis yang baru saja mulai menerima perhatian yang layak: apa pengertian matematika


PUSTAKA
Appel, K., Haken, W. & Koch, J., 1977. ‘Every Planar Map is Four Colorable’, Illinois     Journal of Mathematics, 21: 429–567.
Balaguer, M. 1998. Platonism and Anti-Platonism in Mathematics, Oxford: Oxford          University Press.
Benacerraf, P., 1973. ‘Mathematical Truth’, in Benacerraf & Putnam 1983, 403–420.
Bernays, P., 1935. ‘On Platonism in Mathematics’, in Benacerraf & Putnam 1983, 258–   271.
Boolos, G., 1971. ‘The Iterative Conception of Set’, in Boolos 1998, 13–29.
Boolos, G., 1975. ‘On Second-Order Logic’, in Boolos 1998, 37–53.
Boolos, G., 1985. ‘Nominalist Platonism’, in Boolos 1998, 73–87.
Boolos, G., 1998. Logic, Logic, and Logic, Cambridge: Harvard University Press.
Burge, T., 1998. ‘Computer Proofs, A Priori Knowledge, and Other Minds’, Noûs, 32: 1– 37.
Burgess, J., 2004. ‘Mathematics and Bleak House’, Philosophia Mathematica, 12: 37–     53.
Cantor, G., 1932. Abhandlungen mathematischen und philosophischen Inhalts, E. Zermelo (ed.), Berlin: Julius Springer.
Carnap, R., 1950. ‘Empiricism, Semantics and Ontology’, in Benacerraf & Putnam 1983,             241–257.
Cohen, P., 1971. ‘Comments on the Foundations of Set Theory’, in D. Scott          (ed.) Axiomatic Set Theory (Proceedings of Symposia in Pure Mathematics,       Volume XIII, Part 1), American Mathematical Society, 9–15.
Colyvan, M., 2001. The Indispensability of Mathematics, Oxford: Oxford University        Press.
Deutsch, D., Ekert, A. & Luppacchini, R., 2000. ‘Machines, Logic and Quantum   Physics’, Bulletin of Symbolic Logic, 6: 265–283.
Feferman, S., 2005. ‘Predicativity’, in S. Shapiro (ed.), The Oxford Handbook of   Philosophy of Mathematics and Logic, Oxford: Oxford University Press, pp. 590–         624.
Field, H., 1980. Science without Numbers: a defense of nominalism, Oxford: Blackwell.
Gödel, K., 1944. ‘Russell's Mathematical Logic’, in Benacerraf & Putnam 1983, 447–      469.
Gödel, K., 1947. ‘What is Cantor's Continuum Problem?’, in Benacerraf & Putnam 1983,             470–485.
Halbach, V. & Horsten, L., 2005. ‘Computational Structuralism’, Philosophia       Mathematica, 13: 174–186.
Hallett, M., 1984. Cantorian Set Theory and Limitation of Size, Oxford: Clarendon Press.
Hellman, G., 1989. Mathematics without Numbers, Oxford: Clarendon Press.
Hodes, H., 1984. ‘Logicism and the Ontological Commitments of Arithmetic’, Journal     of Philosophy, 3: 123–149.
Kreisel, G., 1967. ‘Informal Rigour and Completeness Proofs’, in I. Lakatos          (ed.), Problems in the Philosophy of Mathematics, Amsterdam: North-Holland.
Linsky, B. & Zalta, E., 1995. ‘Naturalized Platonism vs. Platonized Naturalism’, Journal of Philosophy, 92: 525–555.
Maddy, P., 1988. ‘Believing the Axioms I, II’, Journal of Symbolic Logic, 53: 481–511,   736–764.
Maddy, P., 1990. Realism in Mathematics, Oxford: Clarendon Press.
Maddy, P., 1997. Naturalism in Mathematics, Oxford: Clarendon Press.
Manders, K., 1989. ‘Domain Extensions and the Philosophy of Mathematics’, Journal of Philosophy, 86: 553–562.
Martin, D.A., 1998. ‘Mathematical Evidence’, in H. Dales & G. Oliveri (eds.), Truth in    Mathematics, Oxford: Clarendon Press, pp. 215–231.
Martin, D.A., 2001. ‘Multiple Universes of Sets and Indeterminate Truth Values’ Topoi,   20: 5–16.
McGee, V., 1997. ‘How we Learn Mathematical Language’, Philosophical Review, 106: 35–68.
Moore, G., 1982. Zermelo's Axiom of Choice: Its Origins, Development, and Influence,     New York: Springer Verlag.
Parsons, C., 1980. ‘Mathematical Intuition’, Proceedings of the Aristotelian Society, 80:   145–168.
Pour-El, M., 1999. ‘The Structure of Computability in Analysis and Physical Theory’, in E. Griffor (ed.), Handbook of Computability Theory, Amsterdam: Elsevier, pp.           449–471.
Putnam, H., 1972. Philosophy of Logic, London: George Allen & Unwin.
Quine, W.V.O., 1969. ‘Epistemology Naturalized’, in W.V.O. Quine, Ontological             Relativity and Other Essays, New York: Columbia University Press, pp. 69–90.
Quine, W.V.O., 1970. Philosophy of Logic, Cambridge, MA: Harvard University Press,    2nd edition.
Shapiro, S., 1991. Foundations without Foundationalism: A Case for Second-order           Logic, Oxford: Clarendon Press.
Sieg, W., 1994. ‘Mechanical Procedures and Mathematical Experience’, in A. George      (ed.), Mathematics and Mind, Oxford: Oxford University Press.
Tait, W., 2005. The Provenance of Pure Reason: Essays in the Philosophy of         Mathematics and its History, Oxford: Oxford University Press.
Turing, A., 1936. ‘On Computable Numbers, with an Application to the     Entscheidungsproblem’, reprinted in M. Davis (ed.), The Undecidable: Basic    Papers on Undecidable Propositions and Uncomputable Functions, Hewlett:    Raven Press, 1965, pp. 116–151.
Tymoczko, T., 1979. ‘The Four-Color Problem and its Philosophical          Significance’, Journal of Philosophy, 76: 57–83.
Van Heijenoort, J., 1967. From Frege to Gödel: A Source Book in Mathematical Logic     (1879–1931), Cambridge, MA: Harvard University Press.
Woodin, H., 2001a. ‘The Continuum Hypothesis. Part I’, Notices of the American Mathematical Society, 48: 567–578.
Woodin, H., 2001b. ‘The Continuum Hypothesis. Part II’, Notices of the American            Mathematical Society, 48: 681–690.